Bekasi,
29 Desember 2011
Sorak-sorai
tak henti-hentinya mewarnai jalan-jalan protokol di sepanjang kotaku.
Satu per satu gerombolan remaja dari berbagai arah turun ke jalan meluapkan
kegembiraan mereka dengan berkonvoi mengendarai sepeda motor. Nampak
warna-warni yang mewarnai rambut mereka —kuning, merah, biru, dan putih. Pakaian putih abu yasng dikenakan para teman-teman ABG itu sudah disulap
sedemikian rupa dengan pilos. Itu bukan kali
yang pertama, bahkan boleh dikatakan itu seolah menjadi rutinitas tahunan bagi
para pelajar yang sakral dan pamali jika sekali saja ditinggalkan atau bahkan
tidak dilakukan. Atau lebih tepatnya dikatakan hari itu adalah hari peringantan
corat-coret nasional pelajar SMA yang merayakan kelulusannya setelah menepuh
studi selama tiga tahun.
Berbeda dengan keadaan di sekolahku. Tak ada tawa, tak ada kegembiraan, dan tak ada corat-coret. Walau hari itu kami siswa dan guru-guru harusnya bergembira dengan pengumuman kelulusan tahun ini, karena sekolah kami sembilan puluh sembilan persen siswanya lulus. Setidaknya ada senyum, bukan air mata dan tangisan.
Sungguh malang
nasib sahabatku. Sahabat yang terus memotivasi aku, inspirator bagi
sahabat-sahabatnya, bahkan sebagian guru mengaku sering mendapat pandangan baru
yang timbul dari ide-idenya. Banyak guru yang mengakui kejeniusan dan
kecerdaskannya.
Namun siapa
sangka hari itu adalah hari berkabung bagi keluarga besar sekolahku, bagi
sahabat-sahbatnya, dan bagi keluarga khususnya kedua orang tuanya yang
ditinggalkannya. Bahkan menurut aku hari berkabung nasional. Dalam prediksi
aku, kelak ia akan menjadi agent of change bagi nusa dan
bangsa. Walaupun prediksi itu dipatahkan oleh Ujian Nasioan, hanya karena Ujian
Nasional, tapi fakta membuktikan bahwa prestasi dan kejeniusannya sangat
gemilang dan loyal dibandingkan dengan sekian ratus teman-temannya. Kami hanya
bisa bernafas lebih legah jika ia ada.
Teringat suatu
ketika, dua tahun yang lalu dihalaman sekolah dibawah rimbunan pohon mangga
yang berjejer rapi nan indah. Kami sempat iseng-iseng berdiskusi tentang impian
atau cita-cita kami masing-masing. Diskusi itu atas usulan dia pula.
“Sejak kecil
aku sudah berniat jadi seorang dokter. Itu cita-citaku. Aku ingin meneruskan
profesi ibuku.” Ujar Hilmi, gadis cantik yang agak cuek tapi hatinya baik.
Hamid
mengalihkan pandangannya padaku, pertanda giliran aku yang menyampaikan
cita-citaku.
“Cita-citaku
sederhana saja, tapi luar biasa. Dan aku ingin menjadi contoh bagi yang lain.”
“Terus apa
cita-citamu.” Tanya Hilmi.
“Kelak jika
sudah lulus SMA, aku ingin pulang kampung membangun desaku. Desaku kaya akan
sumber daya alam. Tapi kehidupan masyarakatnya sangat memperihatinkan. Hanya
satu dua orang saja yang mampu hidup dengan baik, itu pun jauh dari kelayakan
yang sebenarnya. Boro-boro makan roti, melihat uang pun hampir tidak pernah
dalam setahun.”
“Wah, masi ada
ya kehidupan seprti itu di era modernisai dan hedonisme ini?”
“Wah, giman
sih, Her? Indonesia itu luas. Dari Sabang sampai Merauke. Jadi pemerintah sulit
mengontrolnya wilayahnya. Buktinya pada tahun 1998 pemerintah tidak mampu
mempertahankan NKRI. Timor-timor dilepaskan, yang sekarang Timor Leste.
Walaupun GAM, RMS, OPM, NII bisa ditepis, tapi bukan berarti keutuhan NKRI
aman, artinya kita harus mampu mempertahankan dan meneruskan NKRI yang
diperjuangkan oleh nenek moyang kita dengan darah dan nyawa mereka. Jangan jadi
penghianat yang ikut menyuburkan daftar koruptor. Dan satu hal yang akan
memperihatinka, jika seumpama kita ke Papua, Maluku, Makassar, dan ke Aceh
harus pakai paspor. Bagaiman jadinya? Ngerih, kan...?!
Meskipun
Indonesia kaya akan sumber daya alam, tapi dana tetap saja tidak cukup untuk
mensejahterahkan dan memakmurkan kehidupan bangsa...! Sebenarnya cukup,
bahkan lebih, tapi para koruptor melahap habis uang rakyat. Jadinya seperti
itu. Ada dana dari pemerintah untuk merealisasikan programnya, tapi belum
sampai pada masyarakat dana itu sudah habis. Lagian perpanjangan tangan dari
pemerintah agar dana itu sampai pada masyarakat terpencil dan daerah terisolir
saat pelaksanaannya perhatian mereka kurang dan terkesan malas. Mereka haya
ingin dapat uang. Parahnya laporan formalitas dan legalitas pun begitu mudahnya
dipercaya oleh pemerintah” Jelas Hamid, menjawab pertanyaan Heri.
“Terus,
bagaiman dengan pendidikanmu? Apa tidak ada rencana untuk kuliah?” Heri kembali
bertanya pada Sofyan.
“Sebenarnya
pengen sekali kuliah ambil jurusan Bahasa Indonesia. Tapi biaya sekolahku saja
selami ini dari hasil kerja sampingan saya sepulang sekolah. Aku tinggal disini
pun menumpang sama orang lain. Tapi entahlah, biarlah waktu yang menjawab. Kita
baru kelas dua.”
“Sekarang
giliran kamu, Her!” Hamid menyuruh Heri untuk menyampaikan cita-citanya.
“Aku ingin
jadi polisi.” Jawab Heri dengan singkat.
“Sekarang
giliran ustad.” Hamid menoleh ke Abdullah yang akrab dipanggil ustad.
“Insya Allah
setelah lulus SMA aku ingin kuliah di Kairo memperdalam bahasa Arab dan ilmu
hadits.” Teman-temannya serentak mengaminkan, “Aamiin....”
“Nah, sekarang
giliran sang Prof.”
“Ah, biasa aja
Sofyan.”
Teriknya
matahari mulai menyentuh ubun-ubun kami yang tembus dari celah ranting-ranting
dan dedaunan pohon mangga membuat kami bergeser untuk menuntaskan diskusi kami
waktu itu. Kami sering menghabiskan waktu istirhat dengan diskusi dan tukar
pikiran.
Hamid mulai
bercerita dengan impian-impiannya. Dan tak tersa waktu istirahat telah usai.
Kami pun bergegas masuk kelas. Satu pemahaman yang dapat saya simpulkan waktu
itu adalah ia tidak bercita-cita menjadi seorang guru, bukan dokter, dan bukan
pula polisi. Menurutnya jadilah seorang yang bermanfaat yang bisa dirasakan
oleh semua orang. Bukan hanya bisa menolong orang sakit seperti cita-cita
Hilmi, bukan hanya bisa mengajar bagi siswa, bukan hanya menjadi pengayong bagi
masyarakat. Akan tetapi jadilah pengusaha yang berjiwa sosial. Sebab setelah
sukses, kita bisa membangun sekolah supaya guru-guru bisa mengajar, panti
asuhan, pesantren, dan rumah-rumah ibadah supaya ulama-ulama dan rohaniawan
bisa mendidik moral masyarakat, membangun sanggar tani, sanggar seni, karang
taruna yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang mulai dari perkotaan sampai ke
pelosok desa.
Begitu besar
cita-citanya untuk negeri ini, tapi sayang itulah yang terjadi. Ia harus pergi
mendahului kami. Ia terkapar dihalaman sekolah berhamburan darah. Sebelumnya
aku sempat melihat dia di lantai tiga dan beberapa detik kemudian kegembiraan
seketika menjadi kesedihan. Yang disayangkan, ia tak seharusnya mengambil jalan
pintas hanya karena ia tidak lulus dalam Ujian Nasioanal. Tapi mungkin ia
merasa malu dengan teman-teman yang sempat mengejeknya beberapa minggu sebelum
Ujian Nasional berlangsung. Sempat ada yang mengata-ngatainya dengan nada yang
sangat mengejek. “Bagaimana ya, kalau orang pintar justru tidak lulus.
Hahahahaha...............” Semoga ia tenang di alam sana. Amin.
Air mataku tak
terasa menetes mengenang sosok sahabatku saat seorang pramugari di dekatku
membagikan dua bungkus roti dan segelas akua. Disaat jam istirahat, kami sering
makan roti. Sepotong roti dan segelas akua cukup untuk pengganjal perut kami
sampai jam pelajaran usai.
Aku buang
pandanganku ke jendela pesawat, berharap gumpalan awan menjadi penawar rasa
dukaku yang begitu dalam sejak beberapa bulan terakhir. Tapi entah mengapa aku
merasa bersalah. Seolah aku menghianati dia. Ia terbaring membawa segudang
cita-cita yang tak sampai. Sementara aku akan melanjutkan pendidikanku ke ibu
kota. Dialah yang lebih pantas mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah,
buka aku.
Sahabatku yang
piawai menguntai kata dan kalimat. Puisi dan cerpenmu yang banyak di muat di
koran lokal akan jadi salah satu amal jariahmu yang kau titipkan pada kami,
adik-adikmu, dan generasi muda penerus bangsa.
