Cerpen - Segudang Cita-cita yang Tak Sampai - Arsad Ddin

Selasa, 24 Maret 2015

Cerpen - Segudang Cita-cita yang Tak Sampai

By: Arsad Samsuddin
Bekasi, 29 Desember 2011

Sorak-sorai tak henti-hentinya  mewarnai jalan-jalan protokol di sepanjang kotaku. Satu per satu gerombolan remaja dari berbagai arah turun ke jalan meluapkan kegembiraan mereka dengan berkonvoi mengendarai sepeda motor. Nampak warna-warni yang mewarnai rambut mereka —kuning, merah, biru, dan putih. Pakaian putih abu yasng dikenakan para teman-teman ABG itu sudah disulap sedemikian rupa dengan pilos. Itu bukan kali yang pertama, bahkan boleh dikatakan itu seolah menjadi rutinitas tahunan bagi para pelajar yang sakral dan pamali jika sekali saja ditinggalkan atau bahkan tidak dilakukan. Atau lebih tepatnya dikatakan hari itu adalah hari peringantan corat-coret nasional pelajar SMA yang merayakan kelulusannya setelah menepuh studi selama tiga tahun.

Berbeda dengan keadaan di sekolahku. Tak ada tawa, tak ada kegembiraan, dan tak ada corat-coret. Walau hari itu kami siswa dan guru-guru harusnya bergembira dengan pengumuman kelulusan tahun ini, karena sekolah kami sembilan puluh sembilan persen siswanya lulus. Setidaknya ada senyum, bukan air mata dan tangisan.

Sungguh malang nasib sahabatku. Sahabat yang terus memotivasi aku, inspirator bagi sahabat-sahabatnya, bahkan sebagian guru mengaku sering mendapat pandangan baru yang timbul dari ide-idenya. Banyak guru yang mengakui kejeniusan dan kecerdaskannya.

Namun siapa sangka hari itu adalah hari berkabung bagi keluarga besar sekolahku, bagi sahabat-sahbatnya, dan bagi keluarga khususnya kedua orang tuanya yang ditinggalkannya. Bahkan menurut aku hari berkabung nasional. Dalam prediksi aku, kelak ia akan menjadi agent of change bagi nusa dan bangsa. Walaupun prediksi itu dipatahkan oleh Ujian Nasioan, hanya karena Ujian Nasional, tapi fakta membuktikan bahwa prestasi dan kejeniusannya sangat gemilang dan loyal dibandingkan dengan sekian ratus teman-temannya. Kami hanya bisa bernafas lebih legah jika ia ada.

Teringat suatu ketika, dua tahun yang lalu dihalaman sekolah dibawah rimbunan pohon mangga yang berjejer rapi nan indah. Kami sempat iseng-iseng berdiskusi tentang impian atau cita-cita kami masing-masing. Diskusi itu atas usulan dia pula.

“Sejak kecil aku sudah berniat jadi seorang dokter. Itu cita-citaku. Aku ingin meneruskan profesi ibuku.” Ujar Hilmi, gadis cantik yang agak cuek tapi hatinya baik.

Hamid mengalihkan pandangannya padaku, pertanda giliran aku yang menyampaikan cita-citaku.
“Cita-citaku sederhana saja, tapi luar biasa. Dan aku ingin menjadi contoh bagi yang lain.”

“Terus apa cita-citamu.” Tanya Hilmi.

“Kelak jika sudah lulus SMA, aku ingin pulang kampung membangun desaku. Desaku kaya akan sumber daya alam. Tapi kehidupan masyarakatnya sangat memperihatinkan. Hanya satu dua orang saja yang mampu hidup dengan baik, itu pun jauh dari kelayakan yang sebenarnya. Boro-boro makan roti, melihat uang pun hampir tidak pernah dalam setahun.”

“Wah, masi ada ya kehidupan seprti itu di era modernisai dan hedonisme ini?”

“Wah, giman sih, Her? Indonesia itu luas. Dari Sabang sampai Merauke. Jadi pemerintah sulit mengontrolnya wilayahnya. Buktinya pada tahun 1998 pemerintah tidak mampu mempertahankan NKRI. Timor-timor dilepaskan, yang sekarang Timor Leste. Walaupun GAM, RMS, OPM, NII bisa ditepis, tapi bukan berarti keutuhan NKRI aman, artinya kita harus mampu mempertahankan dan meneruskan NKRI yang diperjuangkan oleh nenek moyang kita dengan darah dan nyawa mereka. Jangan jadi penghianat yang ikut menyuburkan daftar koruptor. Dan satu hal yang akan memperihatinka, jika seumpama kita ke Papua, Maluku, Makassar, dan ke Aceh harus pakai paspor. Bagaiman jadinya? Ngerih, kan...?!
Meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, tapi dana tetap saja tidak cukup untuk mensejahterahkan dan  memakmurkan kehidupan bangsa...! Sebenarnya cukup, bahkan lebih, tapi para koruptor melahap habis uang rakyat. Jadinya seperti itu. Ada dana dari pemerintah untuk merealisasikan programnya, tapi belum sampai pada masyarakat dana itu sudah habis. Lagian perpanjangan tangan dari pemerintah agar dana itu sampai pada masyarakat terpencil dan daerah terisolir saat pelaksanaannya perhatian mereka kurang dan terkesan malas. Mereka haya ingin dapat uang. Parahnya laporan formalitas dan legalitas pun begitu mudahnya dipercaya oleh pemerintah” Jelas Hamid, menjawab pertanyaan Heri.

“Terus, bagaiman dengan pendidikanmu? Apa tidak ada rencana untuk kuliah?” Heri kembali bertanya pada Sofyan.

“Sebenarnya pengen sekali kuliah ambil jurusan Bahasa Indonesia. Tapi biaya sekolahku saja selami ini dari hasil kerja sampingan saya sepulang sekolah. Aku tinggal disini pun menumpang sama orang lain. Tapi entahlah, biarlah waktu yang menjawab. Kita baru kelas dua.”

“Sekarang giliran kamu, Her!” Hamid menyuruh Heri untuk menyampaikan cita-citanya.

“Aku ingin jadi polisi.” Jawab Heri dengan singkat.

“Sekarang giliran ustad.” Hamid menoleh ke Abdullah yang akrab dipanggil ustad.

“Insya Allah setelah lulus SMA aku ingin kuliah di Kairo memperdalam bahasa Arab dan ilmu hadits.” Teman-temannya serentak mengaminkan, “Aamiin....”

“Nah, sekarang giliran sang Prof.”

“Ah, biasa aja Sofyan.”

Teriknya matahari mulai menyentuh ubun-ubun kami yang tembus dari celah ranting-ranting dan dedaunan pohon mangga membuat kami bergeser untuk menuntaskan diskusi kami waktu itu. Kami sering menghabiskan waktu istirhat dengan diskusi dan tukar pikiran.

Hamid mulai bercerita dengan impian-impiannya. Dan tak tersa waktu istirahat telah usai. Kami pun bergegas masuk kelas. Satu pemahaman yang dapat saya simpulkan waktu itu adalah ia tidak bercita-cita menjadi seorang guru, bukan dokter, dan bukan pula polisi. Menurutnya jadilah seorang yang bermanfaat yang bisa dirasakan oleh semua orang. Bukan hanya bisa menolong orang sakit seperti cita-cita Hilmi, bukan hanya bisa mengajar bagi siswa, bukan hanya menjadi pengayong bagi masyarakat. Akan tetapi jadilah pengusaha yang berjiwa sosial. Sebab setelah sukses, kita bisa membangun sekolah supaya guru-guru bisa mengajar, panti asuhan, pesantren, dan rumah-rumah ibadah supaya ulama-ulama dan rohaniawan bisa mendidik moral masyarakat, membangun sanggar tani, sanggar seni, karang taruna yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang mulai dari perkotaan sampai ke pelosok desa.

Begitu besar cita-citanya untuk negeri ini, tapi sayang itulah yang terjadi. Ia harus pergi mendahului kami. Ia terkapar dihalaman sekolah berhamburan darah. Sebelumnya aku sempat melihat dia di lantai tiga dan beberapa detik kemudian kegembiraan seketika menjadi kesedihan. Yang disayangkan, ia tak seharusnya mengambil jalan pintas hanya karena ia tidak lulus dalam Ujian Nasioanal. Tapi mungkin ia merasa malu dengan teman-teman yang sempat mengejeknya beberapa minggu sebelum Ujian Nasional berlangsung. Sempat ada yang mengata-ngatainya dengan nada yang sangat mengejek. “Bagaimana ya, kalau orang pintar justru tidak lulus. Hahahahaha...............” Semoga ia tenang di alam sana. Amin.

Air mataku tak terasa menetes mengenang sosok sahabatku saat seorang pramugari di dekatku membagikan dua bungkus roti dan segelas akua. Disaat jam istirahat, kami sering makan roti. Sepotong roti dan segelas akua cukup untuk pengganjal perut kami sampai jam pelajaran usai.

Aku buang pandanganku ke jendela pesawat, berharap gumpalan awan menjadi penawar rasa dukaku yang begitu dalam sejak beberapa bulan terakhir. Tapi entah mengapa aku merasa bersalah. Seolah aku menghianati dia. Ia terbaring membawa segudang cita-cita yang tak sampai. Sementara aku akan melanjutkan pendidikanku ke ibu kota. Dialah yang lebih pantas mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah, buka aku.


Sahabatku yang piawai menguntai kata dan kalimat. Puisi dan cerpenmu yang banyak di muat di koran lokal akan jadi salah satu amal jariahmu yang kau titipkan pada kami, adik-adikmu, dan generasi muda penerus bangsa.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda