Cerpen - Sekolah Kolom Rumah - Arsad Ddin

Sabtu, 06 April 2019

Cerpen - Sekolah Kolom Rumah

“Ting... Ting... Ting...”
Pak Mahmud baru saja memukul lonceng pertanda jam pelajaran telah dimulai. Para siswa berlarian masuk kelas. Syahril ketua kelas satu memimpin teman-temannya memberi salam kepada Pak Guru Mahmud. Usai berdoa, para siswa serius dengan pandangan ke depan memperhatikan Pak Mahmud.
“Assalamu Alaikum.”
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Ucap siswa menjawab salam Pak Mahmud.
Seperti biasa, setiap Pak Mahmud memulai pelajaran, ia selalu membaca puji-pujian dan sholawat atas Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Pak Mahmud lanjut bercerita, “Anak-anak sekalian, Bapak mohon perhatiaanya sejenak. Ada beberapa hal yang Bapak mau sampaikan, sehubungan dengan bantuan pemerintah dengan PNPM-Mandiri[1]. Terkait dengan adanya proyek PNPM ini, maka kemungkinan besar dalam jangka waktu seminggu ke depan Bapak tidak bisa masuk mengajar. Karena Bapak yang bertanggung jawab dengan Proyek ini. Tidak ada yang bisa mengurusi selain Bapak. Tapi bukan berarti kalian tidak masuk sekolah. Kalian tetap masuk sekolah.
“Maaf, Pak. Kalau kami tetap masuk belajar, terus siapa yang akan mengajar kami, Pak?” Sahut salah seorang siswa.
“Kalau Bapak tidak masuk mengajar, kan ada Pak Abdul...!” Jawab siswa yang lainnya.
“Betul, Pak. Kalau Bapak tidak masuk mengajar siapa yang menggantikan Bapak untuk mengajar kami? Pak Abdul sedang sakit tidak mungkin beliau bisa mengajar, Pak...!” Kali ini Sang Ketua Kelas yang bertanya.
“Anak-anak sekalian, Bapak harap kalian bersabar dan tenang, ya. Bapak hari ini rencananya akan berangkat ke kota. Selain kepantingan Desa kita, Bapak juga akan menyetor laporan bulanan di sekolah induk kita. Tapi, kalian tidak usah khawatir untuk tidak akan belajar. Karena kalian kan bisa belajar sendiri atau kalian bisa belajar kelompok. Dan satu hal lagi yang Bapak mau sampaikan, bah...” Bapak Mahmud belum selesai pembicaraannya dengam siswa-siswanya, seorang pemuda yang berpakaian rapi mengetuk pintu lalu memberi salam.
Dan Pak Mahmud dan siswa-siswa pun serentak menjawab salam pemuda tersebut.
“Mari masuk.” Pak Mahmud mempersilhkan tamunya itu.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
“Mari silahkan duduk, Pak.” Pak Mahmud mempersilahkan duduk pemuda tersebut.
“Thank you, Sir. Eh.... Maaf, Pak. Maksud saya terima kasih, terima kasih banyak, Pak.”
Pak Mahmud hanya tersenyum mendengar jawaban pemuda itu, Fadhli, demikian nama pemuda tersebut. Pak Mahmud maklum, sebab Fadhli sudah delapan tahun meninggalkan desa semenjak lulus di bangku Tsanawiyah (MTs). Fadhli adalah salah satu alumni angkatan pertama sekolah filial yang dibina Pak Mahmud di pelosok desa yang sangat jauh dari kota.
Semenjak Fadhli pergi, ia tidak pernah pulang ke desanya itu. Semua orang termasuk keluarganya sendiri telah mengira bahwa Fadhli telah tiada. Dan satu kegembiraan masyarakat di desanya, tak terkecuali keluarganya, dan juga Pak Mahmud sendiri, putra desa yang telah menghilang bertahun-tahun tanpa kabar sedikit pun kini telah hadir ditengah-tengah mereka dengan menyandang sebuah gelar S.Pd. (Sarjana Pendidikan).
Fadhli telah menjadi seorang Sarjana Pendidikan yang pertama di desanya. Memang sebelumnya sudah ada beberapa orang yang sempat duduk di bangku kuliah, akan tetapi mereka hanya program diploma, termasuk Pak Mahmud. Mungkin karena mahalnya biaya pendidikan dan desa mereka merupakan desa yang terisolir sehingga hanya satu dua orang diantara mereka yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Bersyukurlah, karena atas perjuangan Pak Mahmud, Pak Mahmud mendirikan kelas filial di desanya sehingga anak-anak di desa bisa mengeyang pendidikan ke tingkat SLTP. Itu pun masih banyak diantara anak-anak desa yang tidak mau sekolah lagi setelah mereka selesai dari Sekolah Dasar. Semuanya itu disebabkan karena orang tua mereka sendiri tidak paham dan tidak mengerti dengan arti pentingya pendidikan. Bagi mereka yang penting anaknya sudah bisa membaca itu sudah cukup.
Setiap hari tidak jarang dijumpai anak-anak usia sekolah turut bekerja keras membantu orang tua mereka. Anak-anak itu layaknya orang dewasa, parang di pinggang, sepatu laras, dan alat pertanian lainnya adalah perlengkapan mereka setiap harinya lalu lalang keluar masuk kebun dan ladang. Sungguh memperihatinkan anak-anak seperti mereka. Orang tua mereka hanya mengajarkan bagaimana agar bisa makan hari ini. Bagi mereka pendidikan itu kurang penting bahkan tidak penting. Pendidikan hanya menyusahkan dan tempat untuk hura-hura. Anggapan mereka hanya orang-orang kaya dan orang-orang kotalah yang membutuhkan itu.
---
“Anak-anak sekalian, beliau ini yang akan menggantikan Bapak selama Bapak belum pulang. Beliau akan mengajar kalian. Bapak harap kalian tetap sopan dan aktif belajar. Tidak boleh malas apalagi bolos masuk sekolah. Insya Allah beliau juga akan terus bersama-sama kita. Satu hal lagi, beliau ini juga murid Bapak. Alumni angkatan pertama di sekolah ini. Beliau meninggalkan kita delapan tahun yang lalu. Beliau murid Bapak, tapi itu dulu. Sekarang Bapak pantasnya jadi murid beliau sebab sekarang ilmunya jauh lebih dalam dari pada Bapak. Hehehe. Bapak harap semoga kalian bisa mengikuti jejaknya, ya. Aamiin...”
“...Aamiin...” Serentak siswa-siswi Pak Mahmud mengaminimya.
“Baiklah. Nanti beliau sendiri yang akan mencerintakan lebih dalam tentang dirinya.”
Sebelum Pak Mahmud mempersilahkan Fadhli, Pak mahmud menyuruh dua orang muridnya, ketua dan wakil ketua kelas untuk menginformasikan kepada kelas dua dan kelas tiga agar mereka berkumpul di ruangan kelas satu. Semua siswa berkumpul di satu ruangan. Siswa-siswa pun berdatangan ke ruang kelas satu sambil menggotong bangku untuk tempat duduk mereka sesuai dengan perintah Pak Mahmud.
Setelah siswa-siswa sudah tertib dan semuanya sudah kebagian tempat duduk, Pak Mahmud pun melanjutkan arahan dan pembiacaraannya.
“Kayaknya Rismah, Nasir, dan Dirsan tidak masuk sekolah, ya?”
“Iya, Pak. Ini surat dari Rismah. Nasir dan Dirsan tidak ada kabarnya.” Sahut salah seorang temannya sambil menarik selembar kertas dari tasnya.
Dari suara belakang, salah seorang siswi turut bicara, “Pak, sewaktu saya dalam perjalanan menuju sekolah tadi pagi-pagi saya bertemu dengan Dirsan. Ia titip pesan bahwa dia tidak bisa masuk sekolah hari ini karena ada salah satu keluarganya yang meningggal, Pak. Dia melayat bersama dengan keluarganya. Dia tidak sempat membuat surat izin karena mereka buru-buru dan harus langsung berangkat melayat.
“Tok... Tok... Tok.... Assalamu Alaikum....”
Dengan sopan, Nasir langsung masuk ke dalam kelas dan menjelaskan kepada Pak Mahmud perihal mengapa ia terlambat pagi itu masuk sekolah.
“Maaf, Pak. Saya... Saya... Saya terlambat, Pak. Saya harus terlebih dahulu membatu ibu memasak dan mencuci pakaian. Ibu saya lagi kurang enak badan.”
“Tidak apa-apa. Langsung   saja bergabung dengan teman kamu.”
“Baiklah anak-anak. Bapak rasa mungkin cukup apa yang Bapak bisa sampaikan pagi ini. Ada pun mengapa Bapak mengumpulkan kalian dalam satu ruangan ini supaya kalian bisa mendengarkan perkenalan pertama dari alumni pertama di sekolah kita yang berhasil menyelesaikan sarjananya.”
Pak Mahmud pun mempersilahkan kepada Pak Fadhli dan sekaligus meminta pamit kepadanya serta kepada murid-muridnya bahwa Pak Mahmud harus segera berangkat ke kota pagi menjelang siang itu.
---
Pagi beranjak siang. Sebuah sekolah di sudut desa yang gedungnya didirikan lima tahun yang lalu berkat adanya program pemerintah PNPM Mandiri Pak Mahmud pemperjuangkan bahwa PNPM Mandiri yang masuk di desanya harus dimanfaatkan untuk pembangunan gedung sekolah yang mana sebelumnya siswa-siswanya belajar di bawah kolong rumah Pak Mahmud. Pak Fadhli sendiri sampai ia tamat SLTP di sekolah itu ia masih belajar di bawah kolong rumah Pak Mahfud.
 Siang itu nampak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jika selama ini siswa-siswa pada saat jam pelajaran mereka belajar di dalam ruangan, kali ini berbeda. Dua jam setelah Pak Fadhli memberi pelajaran dan motivasi hidup bagi siswa-siswanya di dalam kelas, selanjutnya siswa-siswa diajak ke halaman sekolah duduk melingkar di bawah naungan pepohonan yang rindang untuk melanjutkan materi yang disampaikan Pak Fadhli. Hal ini cukup memberi semangat baru bagi para siswa-siswanya.
Bahkan banyak juga warga yang datang melihat proses belajar mengajar tersebut. Warga yang secara tidak sengaja lewat di depan sekolah yang baru saja kembali dari kebun pun tidak ikut ketinggalan untuk singgah menyaksikan aksi Pak Fadhli bersama murid-muridnya.
Kehadiran Pak Fadhli tidak hanya menjadi penyemangat bagi siswa-siswanya itu. Meski baru sehari kembali ke kampunya setelah beberapa tahun tidak pernah pulang ia langsung menjadi pusat perhatian masyarakat dan sudah mulai mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan dan sekolah.
---
Bekasi, 2012



[1] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri Perdesaan)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda