Cerpen - Bidadari Bumi - Arsad Ddin

Sabtu, 28 Maret 2020

Cerpen - Bidadari Bumi


Walau tanpa kehadiran dewi malam yang selalu disanjung jutaan manusia di bumi, tapi kehadiran bintang-bintang mampu membuat malamku jadi indah dan begitu indah. Kedap-kedip cahayanya seolah mampu mengiringi alunan dawai yang perlahan kupetik satu per satu.
Malamku sangat indah. Ingin rasanya aku memohon pada Tuhan agar bumi ini terhenti walau hanya sedetik. Aku tak ingin suasana malam ini segera berlalu dan jadi kenangan. Aku ingin tetap bersama bintang-bintang berbagi kisah dan asa satu sama lain.
Sejenak aku terdiam. Seolah aku tak ingin memalingkan wajahku yang telah lama bersitatap dengan pernak-pernik langit. Satu diantara seribu pertanyaan penyebabnya. Sebuah pertanyaan yang seolah memaksa aku untuk segera mengetuk palu –Mengetuk palu? Kayak dipersidangan aja. Emang mau ke pengadilan? Kata orang, di pengadilan itu yang salah jadi benar yang benar jadi salah– Tapi aku masih bimbang dan ragu.
Aku betul-betul bingung. Tapi sungguh aku harus memilih. Namun siapa yang aku harus pilih? Apakah aku harus memilih Putri sementara Firah aku abaikan? Oh My Good...
Putri, temanku sejak SMP sampai saat ini. Bahkan kami satu almamater. Dia seumuran dengan aku. Baik dan perhatian. Seiring dengan perjalanan waktu, dewa amor menyatukan hati kami dalam cinta hingga akhirnya kami pun menjalin hubungan silaturrahmi dengan baik.
Firah, gadis belia yang cantik. Ia mengagumi aku. Aku maklum aja. Gadis seusia dia tentu mudah mengungkapkan apa yang dirasakannya tanpa berpikir panjang. Tapi syukurlah, dia tidak salah orang. (Kham... kham...). Dan entah kenapa, dengan kepolosannya dia dapat memenjarakan perasaanku. Batinku berbisik dialah yang terbaik untukku sekarang dan nanti.
Kini bintang-bintang mulai menari menghiasi panggung langit atas seraya mencoba menghibur aku sambil menunggu jawaban yang akan aku tutur.
Aku terpaku menengadah memandangi bintang-bintang. Kucoba melukis wajah kedua gadis pujaan hatiku yang selama ini mampu mengisi segenggam lubukku yang isinya seluas jagad raya. Kulukis  disela rimbunan ribuan bintang-bintang lalu bergantian aku tatapi.
Tuhan, sungguh Kau zat yang Maha Sempurna. Kau hadirkan dalam diriku bidadari-bidadari bumi. Dan sungguh aku harus memilih, tapi sungguh aku berat meninggalkan diantaranya.
Kedua wajah yang begitu mempesona bagiku kini menghiasi langit malam-Mu. Dan haruskah aku menyisahkan Firah tetap menjadi  pemandangan indahku dan Putri yang akan aku pilih jadi calon tulang rusukku? Ataukah Firah...
Tuhan, aku bukan putra Adam yang mau mendua apalagi poligami yang nantinya membuat luka dalam batin putri Hawa. Karena aku takut kelak aku tak mampu berlaku adil. Aku hanya ingin setia  melebihi setianya Group Band Armada meski berat berpisah diantara keduanya melebihi beratnya Caca Handika.
Banyak tokoh agama yang akhirnya berpisah dari isteri pertamanya karena isterinya tidak siap jika dia beristeri lagi. Hal itu cukup menjadi pelajaran buat aku sebagai laki-laki yang masih perlu belajar banyak tentang ilmu, khususnya ilmu agama. Meskipun alasan kejadian semacam itu hanya Allah dan mereka yang tahu, tapi dalam kaca mata orang awam seperti aku bahwa harta mungkin bisa dibagi rata, tapi batin mungkin sulit.
Tuhan, dari segi kecantikan, sungguh keduanya penjelmaan isteri Ali Bin Abi Thalib, Siti Fatimah.  Dari segi kekayaan, bagiku bukan suatu pertimbangan. Dari segi keturunan, keduanya keturunan baik-baik. Dan dari segi agamanya, keduanya calon penghuni surga, bukan wanita berkalung sorban yang meminta dizinahi.
Namun, dari segi mana aku harus mempertimbangkan untuk memilih? Jika aku memilih Putri, aku takut dia merasakan masa gadis tua, dan tentu hal itu terjadi, sebab aku tak ingin mengajaknya kepelaminan jika aku hanya mampu memberi mahar. Meskipun mahar itu adalah salah satu daftar rahasia Tuhan, tapi setidaknya kita mampu mengintipnya lewat usaha dan memahaminya dengan kondisi yang ada.
Jika aku memilih Firah, gadis belia yang memancarkan sinar kedewasaan, aku takut konsentrasi belajarnya terganggu yang perjalanannya masih terbentang jauh dihadapannya. Tapi aku janji, aku akan membimbing dan mendidik layaknya siswiku. Aku akan menjaganya. Jika aku menunggu nanti, aku takut aku akan menemukannya layaknya kaleng bekas. Dan janjiku bukanlah janji para caleg (calon legislatif) dan pemimpin yang hampa belaka.
Dewasa ini dunia semakin gila. Mungkin itu adalah salah satu alasan mengapa aku mendekati Firah. Aku ingin mengantarnya keusia yang lebih dewasa yang mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Sama seperti Putri.
Di luaran sana banyak berkeliaran predator seks yang hanya mencari kesenangan belaka dan akhirnya lepas tangan. Saking sadisnya, tidak sedikit yang suka sama suka sesama jenis. Bahkan di negeri ini pernah marak diberitakan seorang lelaki yang memalsukan identitasnya jadi perempuan yang berujung ke pelaminan dengan lelaki tipuannya.
Terjebak dalam perangkap dosa lalu mengadu nasib dan jatuh bangun mengejar “cindol dan tape” alias cinta buta. Ah, aku tak ingin hal itu terjadi padamu...
Semoga pilihanku kali ini tidak salah. Dan semoga pula tidak seperti kesalahan yang pernah aku lakukan pada pemilu yang lalu. Aku salah memilih karena retorika dan kampanye kosong. Tidak jauh beda salahnya dengan orang-orang yang memilih calegnya yang tak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik yang hanya melahirkan fitnah dan perpecahan. Maaf, kita hanya pemilih, tapi yang dipilih mengecewakan.
Malam kian larut. Bulan pun hadir menghiasi langit meski dalam bentuk yang tak sempurnah. Dan awan pun sibuk beterbangan yang tertiup oleh angin menghalau sinar-sianar langit. Jari-jemariku masih sibuk memainkan dawai mengatur bunyi indah  mengiringi tembang yang kualunkan untuk kedua bidadari cantik yang masih nampak terpapar dalam bingkai lukisanku di langit atas.
----------
Polewali Mandar, 2011/04
--
Arsad Ddin
 Lahir di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini bekerja di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Bekasi, Jawa Barat.


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda