Walau tanpa
kehadiran dewi malam yang selalu disanjung jutaan manusia di bumi, tapi
kehadiran bintang-bintang mampu membuat malamku jadi indah dan begitu indah.
Kedap-kedip cahayanya seolah mampu mengiringi alunan dawai yang perlahan
kupetik satu per satu.
Malamku
sangat indah. Ingin rasanya aku memohon pada Tuhan agar bumi ini terhenti walau
hanya sedetik. Aku tak ingin suasana malam ini segera berlalu dan jadi
kenangan. Aku ingin tetap bersama bintang-bintang berbagi kisah dan asa satu
sama lain.
Sejenak
aku terdiam. Seolah aku tak ingin memalingkan wajahku yang telah lama
bersitatap dengan pernak-pernik langit. Satu diantara seribu pertanyaan
penyebabnya. Sebuah pertanyaan yang seolah memaksa aku untuk segera mengetuk
palu –Mengetuk palu? Kayak
dipersidangan aja. Emang mau ke pengadilan? Kata orang, di pengadilan itu yang
salah jadi benar yang benar jadi salah– Tapi aku masih bimbang dan
ragu.
Aku
betul-betul bingung. Tapi sungguh aku harus memilih. Namun siapa yang aku harus
pilih? Apakah aku harus memilih Putri sementara Firah aku abaikan? Oh My Good...
Putri,
temanku sejak SMP sampai saat ini. Bahkan kami satu almamater. Dia seumuran
dengan aku. Baik dan perhatian. Seiring dengan perjalanan waktu, dewa amor
menyatukan hati kami dalam cinta hingga akhirnya kami pun menjalin hubungan silaturrahmi dengan baik.
Firah,
gadis belia yang cantik. Ia mengagumi aku. Aku maklum aja.
Gadis seusia dia tentu mudah mengungkapkan apa yang dirasakannya tanpa berpikir
panjang. Tapi syukurlah, dia tidak salah orang. (Kham... kham...). Dan entah kenapa, dengan kepolosannya
dia dapat memenjarakan perasaanku. Batinku berbisik dialah yang terbaik untukku
sekarang dan nanti.
Kini
bintang-bintang mulai menari menghiasi panggung langit atas seraya mencoba
menghibur aku sambil menunggu jawaban yang akan aku tutur.
Aku
terpaku menengadah memandangi bintang-bintang. Kucoba melukis wajah kedua gadis
pujaan hatiku yang selama ini mampu mengisi segenggam lubukku yang isinya
seluas jagad raya. Kulukis disela rimbunan ribuan bintang-bintang lalu
bergantian aku tatapi.
Tuhan,
sungguh Kau zat yang Maha Sempurna. Kau hadirkan dalam diriku bidadari-bidadari
bumi. Dan sungguh aku harus memilih, tapi sungguh aku berat meninggalkan
diantaranya.
Kedua
wajah yang begitu mempesona bagiku kini menghiasi langit malam-Mu. Dan haruskah
aku menyisahkan Firah tetap menjadi pemandangan indahku dan Putri yang
akan aku pilih jadi calon tulang rusukku? Ataukah Firah...
Tuhan,
aku bukan putra Adam yang mau mendua apalagi poligami yang nantinya membuat
luka dalam batin putri Hawa. Karena aku takut kelak aku tak mampu berlaku adil.
Aku hanya ingin setia melebihi setianya Group Band Armada meski berat berpisah diantara keduanya melebihi
beratnya Caca Handika.
Banyak
tokoh agama yang akhirnya berpisah dari isteri pertamanya karena isterinya
tidak siap jika dia beristeri lagi. Hal itu cukup menjadi pelajaran buat aku
sebagai laki-laki yang masih perlu belajar banyak tentang ilmu, khususnya ilmu
agama. Meskipun alasan kejadian semacam itu hanya Allah dan mereka yang tahu,
tapi dalam kaca mata orang awam seperti aku bahwa harta mungkin bisa dibagi
rata, tapi batin mungkin sulit.
Tuhan,
dari segi kecantikan, sungguh keduanya penjelmaan isteri Ali Bin Abi Thalib,
Siti Fatimah. Dari segi kekayaan, bagiku bukan suatu pertimbangan. Dari
segi keturunan, keduanya keturunan baik-baik. Dan dari segi agamanya, keduanya
calon penghuni surga, bukan wanita berkalung sorban yang meminta dizinahi.
Namun,
dari segi mana aku harus mempertimbangkan untuk memilih? Jika aku memilih
Putri, aku takut dia merasakan masa gadis tua, dan tentu hal itu terjadi, sebab
aku tak ingin mengajaknya kepelaminan jika aku hanya mampu memberi mahar.
Meskipun mahar itu adalah salah satu daftar rahasia Tuhan, tapi setidaknya kita
mampu mengintipnya lewat usaha dan memahaminya dengan kondisi yang ada.
Jika
aku memilih Firah, gadis belia yang memancarkan sinar kedewasaan, aku takut
konsentrasi belajarnya terganggu yang perjalanannya masih terbentang jauh dihadapannya.
Tapi aku janji, aku akan membimbing dan mendidik layaknya siswiku. Aku akan
menjaganya. Jika aku menunggu nanti, aku takut aku akan menemukannya layaknya
kaleng bekas. Dan janjiku bukanlah janji para caleg (calon
legislatif) dan pemimpin yang hampa belaka.
Dewasa
ini dunia semakin gila. Mungkin itu adalah salah satu alasan mengapa aku
mendekati Firah. Aku ingin mengantarnya keusia yang lebih dewasa yang mampu
membedakan yang baik dan yang buruk. Sama seperti Putri.
Di
luaran sana banyak berkeliaran predator seks yang hanya mencari kesenangan
belaka dan akhirnya lepas tangan. Saking sadisnya, tidak sedikit yang suka sama
suka sesama jenis. Bahkan di negeri ini pernah marak diberitakan seorang lelaki
yang memalsukan identitasnya jadi perempuan yang berujung ke pelaminan dengan
lelaki tipuannya.
Terjebak
dalam perangkap dosa lalu mengadu nasib dan jatuh bangun mengejar “cindol dan tape” alias cinta buta. Ah,
aku tak ingin hal itu terjadi padamu...
Semoga
pilihanku kali ini tidak salah. Dan semoga pula tidak seperti kesalahan yang
pernah aku lakukan pada pemilu yang lalu. Aku salah memilih karena retorika dan
kampanye kosong. Tidak jauh beda salahnya dengan orang-orang yang memilih
calegnya yang tak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik yang hanya
melahirkan fitnah dan perpecahan. Maaf, kita hanya pemilih, tapi yang dipilih mengecewakan.
Malam
kian larut. Bulan pun hadir menghiasi langit meski dalam bentuk yang tak
sempurnah. Dan awan pun sibuk beterbangan yang tertiup oleh angin menghalau
sinar-sianar langit. Jari-jemariku masih sibuk memainkan dawai mengatur bunyi
indah mengiringi tembang yang kualunkan untuk kedua bidadari cantik yang
masih nampak terpapar dalam bingkai lukisanku di langit atas.
----------
Polewali Mandar, 2011/04
--
Arsad Ddin