Usai shalat isyah, Ustadz Abdullah
menghampiri Alief. Ia mengajak Alief mampir ke rumahnya. Mereka pun berjalan
santai membelakangi masjid menuju rumah Ustadz Abdullah yang berada di sebelah
timur masjid, tidak jauh dari masjid. Beberapa menit kemudian mereka pun sampai.
“Ia, Ustadz. Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikum salam warahmatullahi
wabarakatuh.” Jawab Ustadz Abdullah sambil mempersilahkan Alief masuk dalam rumah.
Alief tahu kalau Ustadz Abdullah tahu
perasaannya malam itu. Alief terlihat tegang. Di raut wajahnya nampak malu
kecil yang tidak dapat ia palingkan di hadapan Ustadz Abdullah. Ustadz pun tahu
kalau Alief tahu ia memperhatikannya.
“Bagaimana, Lief? Bagaimana mimpi
indahmu. Apakah Nak Alief masih ingin mewujudkan mimpi itu?”
Alief menarik nafasnya. Ia membaca
lafadz basmalah dalam hatinya. Lalu ia mengangkat sedikit pandangannya, langsung
bertatapan dengan Ustadz Abdullah. Nampaknya rasa groginya mulai luntur.
“Insya Allah, Ustadz.” Jawab Alief
dengan singkat.
“Memang sudah saatnya Antum
melaksanakan sunnah Rasulullah ini. Antum sudah mapan, baik materi maupun
fisik. Saya rasa Antum mampu menjaga keluarga dan menafkahi isteri dan
anak-anak Antum kelak. Insya Allah.”
Percakapan Ustadz Abdullah dengan
Alief si pemuda tampan berkaca mata kuda[1]
terus berlanjut sesekali diwarnai pekikan kecil dan canda. Ustadz Abdullah
Nampak membolak-balik sebuah buku yang ada di atas meja di depan mereka. Dan
pemuda tampan berkaca mata kuda itu serius mendengarkan nasehat dari Ustadz
Abdullah. Meskipun apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah sudah ia tahu,
tapi ia harus mengerahkan pemahamannya sebab itu bukan perkara kecil. Itu
adalah perkara pernikahan yang baginya pernikahan itu sesuatu yang sakral dan
tidak boleh dipermainkan seperti pada umunya dengan mudah dilakukan oleh orang,
menikah hari ini esok harinya cerai.
“…………………. Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Qur’an Surah An Nisa’ ayat 3………”
Ustadz Abdullah membacakan Al-Qur’an
Surah An-Nisa’ Ayat tiga dan terus memberikan pandangan tentang pernikahan
kepada Alief mulai dari kriteria seorang wanita yang shalehah, menjadi
seorang suami yang shaleh dan amanah, mengurus anak-anak, menafkahi keluarga,
berderma kepada sesama bagaimana agar senantiasa dibiasakan dalam keluarga yang
membentuk keluarga islami, sampai pada poligami jika itu yang terbaik untuk
agama.
Jarum panjang jam dinding yang ada di
ruang tamu rumah Ustadz Abdullah telah berputar 360o sejak Ustadz
Abdullah dan Alief memulai percakapan mereka.
“Wah, tidak terasa sudah satu jam kita
ngobrol. Semoga ini bermanfaat buat kita.”
“Semoga ustadz. Khususnya buat saya.”
“Iya, Insya Allah. Dan semua itu
bukanlah suatu dongeng. Karena saya sudah pengalaman, sudah melaluinya, sudah
menikmati setitik nikmat yang antum belum pernah merasakan nikmat itu. Hehehehe…….”
Ujar Ustadz Abdullah sambil sedikit bergurau.
Ustadz
Abdullah berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke sebelah kirinya mengambil
sebuah tas yang ada di atas rak buku. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan
sebuah buku berwarna merah muda kebiru-biruan. Covernya bergambar kartun
muslimah berkerudung besar. Tebal buku itu kurang lebih dua ratus
halaman.
“Buku ini membahas tentang wanita
muslimah. Pengarangnya adalah salah seorang
mahasiswi di di Universitas Muhammadiyah Makassar. Ia sudah
semester akhir dan Insya Allah dua bulan lagi dia akan wisuda.”
“Nama pengarangnya siapa Ustadz?”
Tanya Alief.
“Ni Antum liat dan baca sendiri!”
“….Rismah Rukiyah Razak…..”
Alief membaca dengan seksama biografi
sang penulis buku yang ada ditangannya. Dalam benaknya ia berpikir mungkin
itulah seorang muslimah yang ustadz Abdullah akan perkenalkan pada dirinya
sesuai kriteria calon isteri yang shaleha. Namun sejenak ia terhenti dari
bacaannya yang tersisah beberapa baris lagi saat ustadz Abdullah mengeluarkan
selembar foto ukuran 2R.
“Ini namanya Ayu Sartika. Ia juga
sudah semester akhir di Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. Ia
mengambil program studi Manajemen Logistik. Beberapa bulan yang lalu ia sempat
ke rumah menemui tantenya. Dan sekarang ia sudah di Bekasi, Jawa Barat untuk
melanjutkan kuliahnya yang tersisah beberapa bulan lagi akan diwisuda.
Alief belum paham betul apa maksud
sebenarnya ustadz Abdullah memperkenalkan muslimah-muslimah kampus tersebut.
Yang ada dibenaknya adalah mungkin muslimah-muslimah kampus itulah yang akan
jadi pilihannya. Sesaat kemudian ia berharap dan mulai menunggu tawaran dari
ustadz Abdullah untuk memilih salah satu muslimah-muslimah kampus tersebut
menjadi calon pelengkap tulang rusuknya.
“Subhanallah, hampir sepuluh tahun aku
tak pernah merasakan rasa ini. Rasa ini terasa meluluhkan tulang-tulang dan
otot-ototku. Rasa ini tak seindah waktu masih duduk dibangku MTs. Waktu itu,
rasa seperti ini sempat aku rasakan. Namun tiba-tiba itu hilang dan membuat aku
benci rasa seperti itu saat orang tuaku memindahkan aku mondok di Pesanteren.
Dan sejak saat itulah pandangan serta perasaanku perlahan aku kubur untuk
wanita dan gadis-gadis yang bukan muhrimku. Namun entah darimana datangnya rasa
itu mulai mengakar lagi dihatiku, dan kini, saat ini, terasa rasa ini seakaan
merindukan siraman air jernih untuk mengembangkan dan menyejukkan
batang-batang, daun, dan ranting-rantingnya…”
“Kham…. Kham…. Apa yang Antum
khayalkan? Apa menurut Antum muslimah-muslimah ini tidak ada yang sesuai dengan
kriteria calon isteri yang Antum cari. Atau mungkin Antum mau tambah pilihan
lagi?” Ujar Ustadz
Abdullah bergurau.
Pemuda tampan berkacamata kuda itu
tersendak dari lamunannya. Ia senyum sipu. Ia tak tahu harus memilih kalimat
apa yang akan disampaikan ke ustadz Abdullah saat kata pilihan atas kedua
muslimah kampus itu yang dari tadi ia tunggu untuk ia nyatakan kata pilihannya
dan tiba-tiba ia punya kesempatan untuk menyampaikan pilihan itu.
“Subhanallah ustadz, jujur ana grogi dan
terasa nyata ini tidak nyata meskipun nyata.”
“Ini nyata. Antum boleh menyampaikan
pilihan Antum. Ini adalah pilihan Antum. Tapi untuk saat ini ana sarankan pilihan
itu nanti saja Antum pastikan sebab ini masalah mulia dan serius. Antum tetap
perlu memikirkan secara matang-matang.”
“Ia, ustadz. Alief percaya sama
ustadz, dengan bantuan ustadz, saran, dan nasehat ustadz.”
“Mungkin langkah selanjutnya adalah Antum
perlu shalat istikharah dan mendiskusikan kepada orang tua dan keluarga Antum.”
“Iya ustadz. Itu pasti. Insya Allah.”
“Oh, iya. Hampir ana lupa. Rismah
Rukiyah Rasak ini adalah anak dari Ustadz Razak. Ayahnya teman ana sejak kuliah
di Kairo, Mesir. Saat ini beliau sudah dua tahun di Maluku berdakwah dan
mengajar di salah satu kampus disana. Rismah saat ini tinggal dirumahnya
ditemani kakek dan neneknya, orang tua ibunya. Adik-adiknya ikut sama orang
tuanya ke Maluku tanah kelahiran ayahnya. Dan anaknya yang bungsu juga tiggal
sama Rismah. Berhubung anak ana juga kuliahnya di Makassar, jadi orang tua
Rismah meminta ana agar Rahmah tinggal sama Rismah saja.
Dan si Ayu ini anak dari kakak isteri
ana. Dia juga termasuk mahasiswi yang cerdas. Dia juga aktif di beberapa
organisasi di kampusnya, Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi di Bekasi,
Jawa Barat. Sewaktu ia liburan kemarin, ia menghabiskan waktunya bersama
remaja-remaja masjid mengadakan kegiatan dan pengajian. Orang tuanya tinggal di
Baras, Mamuju Utara.[2]
“Ia dik, Alief. Sejak ia liburan
kemarin ia sangat sibuk. Semula aku tidak sangka pengetahuan agamanya cukup
lumayan luas. Padahal kata orang tuanya, ia kuliah tentang kelapa sawit di
Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. Dan dia juga pernah cerita kalau
teman-teman kuliahnya datang dari berbagai provinsi di Indonesia, ada yang dari
Kalimantan, Jambi, Medan, Papua, Jakarta pokoknya dari Sabang sampai Merauke.
Dan di kampusnya semua agama ada.” Ujar Umi Zahrah, isteri Ustadz Abdullah yang
datang dari ruang tengah rumahnya sambil membawa tambahan kue dan sebuah cerek
berwarna kuning emas berisi teh hangat.
“Kata Ayu, meskipun di kampusnya
berbagai suku dan agama ada, tapi mereka rukun dan kompak. Disana seolah
menjadi tempat pertemuan yang dipersiapkan untuk menanamkan wawasan nusantara
dan saling berbagi rasa dari tiap-tiap daerah dan suku yang ada di Indonesia
ditengah merosotnya nilai-nilai Pancasiala dikalangan masyarakat.” Kata Ustadz
Abdullah menambahkan cerita isterinya.
Malam kian menghitam. Langit dipenuhi
ribuan titik-titik bintang. Indah nan cantik meskipun tanpa kehadiran sang rembulan.
Percakapan kecil antara Ustadz Abdullah dan isterinya dengan Alief si pemuda
tampan terlihat santai dan serius. Tiba-tiba nada pesan berdering di HP Alief.
Ia menarik HP-nya dari kantong baju kokonya.
“Ustadz, ustadzah, terima kasih banyak
atas semuanya. Berhubung karena malam sudah larut, jadi mungkin Alief pamit
pulang dulu. Dan kebetulan dirumah ada rekan kerja Alief kantor lagi menuggu. Kami ada janji malam ini.”
“Antum tetap istiqomah. Dan jangan
lupa shalat istikharah. Mohon pada Allah Subhana Wataala atas pilihan mana yang
terbaik buat calon isteri Antum.”
“Insya Allah, ustadz. Syukran, Alief
pamit dulu ustadz, ustadzah. Assalamu Alaikum.”
“Waalaikum salam warahmatullahi
wabarakatuh.” Jawab Austadz
Abdullah.
Alief pun bergegas pulang. Ia sedikit
mempercepat langkahnya. Ia berjalan menuju jalan raya sesekali mengarahkan
pandangannya ke setiap muda-mudi yang tengah asyik boncengan di atas motor yang
melintas di depannya. Pemandangan seperti itu sudah tidak asing lagi di setiap
kota-kota di seluruh Indonesia, termasuk di kotanya ini, Polewali Mandar.
---
Bekasi, 2012/05
Arsad Ddin
Lahir di
Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini bekerja di salah satu Perguruan
Tinggi Swasta (PTS), Bekasi, Jawa Barat.
[1]Kaca mata kuda adalah julukan bagi Alief yang
diberikan oleh gadis-gadis cantik yang mengenalnya, khususnya di sekitar rumah
dan di kantornya. Alief dijuluki pemuda tampan berkacamata kuda karena hampir
ia tidak pernah mau memandang wajah-wajah cantik gadis-gadis yang naksir
padanya. Ia hanya melihat ke depan dan menundukkan pandangannya.