Cerpen - Muslimah Kampus - Arsad Ddin

Sabtu, 28 Maret 2020

Cerpen - Muslimah Kampus


Usai shalat isyah, Ustadz Abdullah menghampiri Alief. Ia mengajak Alief mampir ke rumahnya. Mereka pun berjalan santai membelakangi masjid menuju rumah Ustadz Abdullah yang berada di sebelah timur masjid, tidak jauh dari masjid. Beberapa menit kemudian mereka pun sampai.
“Mari masuk, Antum tidak usah tegang begitu… hehehe.” Ustadz Abdullah mempersilahkan Alief masuk dalam rumahnya.
“Ia, Ustadz. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Ustadz Abdullah sambil mempersilahkan Alief  masuk dalam rumah.
Alief tahu kalau Ustadz Abdullah tahu perasaannya malam itu. Alief terlihat tegang. Di raut wajahnya nampak malu kecil yang tidak dapat ia palingkan di hadapan Ustadz Abdullah. Ustadz pun tahu kalau Alief tahu ia memperhatikannya.
“Bagaimana, Lief? Bagaimana mimpi indahmu. Apakah Nak Alief masih ingin mewujudkan mimpi itu?”
Alief menarik nafasnya. Ia membaca lafadz basmalah dalam hatinya. Lalu ia mengangkat sedikit pandangannya, langsung bertatapan dengan Ustadz Abdullah. Nampaknya rasa groginya mulai luntur.
“Insya Allah, Ustadz.” Jawab Alief dengan singkat.
“Memang sudah saatnya Antum melaksanakan sunnah Rasulullah ini. Antum sudah mapan, baik materi maupun fisik. Saya rasa Antum mampu menjaga keluarga dan menafkahi isteri dan anak-anak Antum kelak. Insya Allah.”
Percakapan Ustadz Abdullah dengan Alief si pemuda tampan berkaca mata kuda[1] terus berlanjut sesekali diwarnai pekikan kecil dan canda. Ustadz Abdullah Nampak membolak-balik sebuah buku yang ada di atas meja di depan mereka. Dan pemuda tampan berkaca mata kuda itu serius mendengarkan nasehat dari Ustadz Abdullah. Meskipun apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah sudah ia tahu, tapi ia harus mengerahkan pemahamannya sebab itu bukan perkara kecil. Itu adalah perkara pernikahan yang baginya pernikahan itu sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipermainkan seperti pada umunya dengan mudah dilakukan oleh orang, menikah hari ini esok harinya cerai.
“…………………. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Qur’an Surah An Nisa’ ayat 3………”
Ustadz Abdullah membacakan Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat tiga dan terus memberikan pandangan tentang pernikahan kepada Alief mulai dari kriteria seorang wanita yang shalehah, menjadi seorang suami yang shaleh dan amanah, mengurus anak-anak, menafkahi keluarga, berderma kepada sesama bagaimana agar senantiasa dibiasakan dalam keluarga yang membentuk keluarga islami, sampai pada poligami jika itu yang terbaik untuk agama.
Jarum panjang jam dinding yang ada di ruang tamu rumah Ustadz Abdullah telah berputar 360o sejak Ustadz Abdullah dan Alief memulai percakapan mereka.
“Wah, tidak terasa sudah satu jam kita ngobrol. Semoga ini bermanfaat buat kita.”
“Semoga ustadz. Khususnya buat saya.”
“Iya, Insya Allah. Dan semua itu bukanlah suatu dongeng. Karena saya sudah pengalaman, sudah melaluinya, sudah menikmati setitik nikmat yang antum belum pernah merasakan nikmat itu. Hehehehe…….” Ujar Ustadz Abdullah sambil sedikit bergurau.
Ustadz  Abdullah berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke sebelah kirinya mengambil sebuah tas yang ada di atas rak buku. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah buku berwarna merah muda kebiru-biruan. Covernya bergambar kartun muslimah berkerudung besar. Tebal buku itu kurang lebih dua ratus halaman.
“Buku ini membahas tentang wanita muslimah. Pengarangnya adalah salah seorang  mahasiswi di di Universitas Muhammadiyah Makassar. Ia sudah semester akhir dan Insya Allah dua bulan lagi dia akan wisuda.”
“Nama pengarangnya siapa Ustadz?” Tanya Alief.
“Ni Antum liat dan baca sendiri!”
“….Rismah Rukiyah Razak…..”
Alief membaca dengan seksama biografi sang penulis buku yang ada ditangannya. Dalam benaknya ia berpikir mungkin itulah seorang muslimah yang ustadz Abdullah akan perkenalkan pada dirinya sesuai kriteria calon isteri yang shaleha. Namun sejenak ia terhenti dari bacaannya yang tersisah beberapa baris lagi saat ustadz Abdullah mengeluarkan selembar foto ukuran 2R.
“Ini namanya Ayu Sartika. Ia juga sudah semester akhir di Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. Ia mengambil program studi Manajemen Logistik. Beberapa bulan yang lalu ia sempat ke rumah menemui tantenya. Dan sekarang ia sudah di Bekasi, Jawa Barat untuk melanjutkan kuliahnya yang tersisah beberapa bulan lagi akan diwisuda.
Alief belum paham betul apa maksud sebenarnya ustadz Abdullah memperkenalkan muslimah-muslimah kampus tersebut. Yang ada dibenaknya adalah mungkin muslimah-muslimah kampus itulah yang akan jadi pilihannya. Sesaat kemudian ia berharap dan mulai menunggu tawaran dari ustadz Abdullah untuk memilih salah satu muslimah-muslimah kampus tersebut menjadi calon pelengkap tulang rusuknya.
“Subhanallah, hampir sepuluh tahun aku tak pernah merasakan rasa ini. Rasa ini terasa meluluhkan tulang-tulang dan otot-ototku. Rasa ini tak seindah waktu masih duduk dibangku MTs. Waktu itu, rasa seperti ini sempat aku rasakan. Namun tiba-tiba itu hilang dan membuat aku benci rasa seperti itu saat orang tuaku memindahkan aku mondok di Pesanteren. Dan sejak saat itulah pandangan serta perasaanku perlahan aku kubur untuk wanita dan gadis-gadis yang bukan muhrimku. Namun entah darimana datangnya rasa itu mulai mengakar lagi dihatiku, dan kini, saat ini, terasa rasa ini seakaan merindukan siraman air jernih untuk mengembangkan dan menyejukkan batang-batang, daun, dan ranting-rantingnya…”
“Kham…. Kham…. Apa yang Antum khayalkan? Apa menurut Antum muslimah-muslimah ini tidak ada yang sesuai dengan kriteria calon isteri yang Antum cari. Atau mungkin Antum mau tambah pilihan lagi?” Ujar Ustadz Abdullah bergurau.
Pemuda tampan berkacamata kuda itu tersendak dari lamunannya. Ia senyum sipu. Ia tak tahu harus memilih kalimat apa yang akan disampaikan ke ustadz Abdullah saat kata pilihan atas kedua muslimah kampus itu yang dari tadi ia tunggu untuk ia nyatakan kata pilihannya dan tiba-tiba ia punya kesempatan untuk menyampaikan pilihan itu.
“Subhanallah ustadz, jujur ana grogi dan terasa nyata ini tidak nyata meskipun nyata.”
“Ini nyata. Antum boleh menyampaikan pilihan Antum. Ini adalah pilihan Antum. Tapi untuk saat ini ana sarankan pilihan itu nanti saja Antum pastikan sebab ini masalah mulia dan serius. Antum tetap perlu memikirkan secara matang-matang.”
“Ia, ustadz. Alief percaya sama ustadz, dengan bantuan ustadz, saran, dan nasehat ustadz.”
“Mungkin langkah selanjutnya adalah Antum perlu shalat istikharah dan mendiskusikan kepada orang tua dan keluarga Antum.”
“Iya ustadz. Itu pasti. Insya Allah.”
“Oh, iya. Hampir ana lupa. Rismah Rukiyah Rasak ini adalah anak dari Ustadz Razak. Ayahnya teman ana sejak kuliah di Kairo, Mesir. Saat ini beliau sudah dua tahun di Maluku berdakwah dan mengajar di salah satu kampus disana. Rismah saat ini tinggal dirumahnya ditemani kakek dan neneknya, orang tua ibunya. Adik-adiknya ikut sama orang tuanya ke Maluku tanah kelahiran ayahnya. Dan anaknya yang bungsu juga tiggal sama Rismah. Berhubung anak ana juga kuliahnya di Makassar, jadi orang tua Rismah meminta ana agar Rahmah tinggal sama Rismah saja.
Dan si Ayu ini anak dari kakak isteri ana. Dia juga termasuk mahasiswi yang cerdas. Dia juga aktif di beberapa organisasi di kampusnya, Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi di Bekasi, Jawa Barat. Sewaktu ia liburan kemarin, ia menghabiskan waktunya bersama remaja-remaja masjid mengadakan kegiatan dan pengajian. Orang tuanya tinggal di Baras, Mamuju Utara.[2]
“Ia dik, Alief. Sejak ia liburan kemarin ia sangat sibuk. Semula aku tidak sangka pengetahuan agamanya cukup lumayan luas. Padahal kata orang tuanya, ia kuliah tentang kelapa sawit di Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi. Dan dia juga pernah cerita kalau teman-teman kuliahnya datang dari berbagai provinsi di Indonesia, ada yang dari Kalimantan, Jambi, Medan, Papua, Jakarta pokoknya dari Sabang sampai Merauke. Dan di kampusnya semua agama ada.” Ujar Umi Zahrah, isteri Ustadz Abdullah yang datang dari ruang tengah rumahnya sambil membawa tambahan kue dan sebuah cerek berwarna kuning emas berisi teh hangat.
“Kata Ayu, meskipun di kampusnya berbagai suku dan agama ada, tapi mereka rukun dan kompak. Disana seolah menjadi tempat pertemuan yang dipersiapkan untuk menanamkan wawasan nusantara dan saling berbagi rasa dari tiap-tiap daerah dan suku yang ada di Indonesia ditengah merosotnya nilai-nilai Pancasiala dikalangan masyarakat.” Kata Ustadz Abdullah menambahkan cerita isterinya.
Malam kian menghitam. Langit dipenuhi ribuan titik-titik bintang. Indah nan cantik meskipun tanpa kehadiran sang rembulan. Percakapan kecil antara Ustadz Abdullah dan isterinya dengan Alief si pemuda tampan terlihat santai dan serius. Tiba-tiba nada pesan berdering di HP Alief. Ia menarik HP-nya dari kantong baju kokonya.
“Ustadz, ustadzah, terima kasih banyak atas semuanya. Berhubung karena malam sudah larut, jadi mungkin Alief pamit pulang dulu. Dan kebetulan dirumah ada rekan kerja Alief kantor lagi menuggu. Kami ada janji malam ini.
“Antum tetap istiqomah. Dan jangan lupa shalat istikharah. Mohon pada Allah Subhana Wataala atas pilihan mana yang terbaik buat calon isteri Antum.”
“Insya Allah, ustadz. Syukran, Alief pamit dulu ustadz, ustadzah. Assalamu Alaikum.”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Austadz Abdullah.
Alief pun bergegas pulang. Ia sedikit mempercepat langkahnya. Ia berjalan menuju jalan raya sesekali mengarahkan pandangannya ke setiap muda-mudi yang tengah asyik boncengan di atas motor yang melintas di depannya. Pemandangan seperti itu sudah tidak asing lagi di setiap kota-kota di seluruh Indonesia, termasuk di kotanya ini, Polewali Mandar.
---
Bekasi, 2012/05
Arsad Ddin

Lahir di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini bekerja di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Bekasi, Jawa Barat.




[1]Kaca mata kuda adalah julukan bagi Alief yang diberikan oleh gadis-gadis cantik yang mengenalnya, khususnya di sekitar rumah dan di kantornya. Alief dijuluki pemuda tampan berkacamata kuda karena hampir ia tidak pernah mau memandang wajah-wajah cantik gadis-gadis yang naksir padanya. Ia hanya melihat ke depan dan menundukkan pandangannya.

[2]Sebuah kabupaten yang ada di Profinsi Sulawesi Barat

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda