Dua puluh menit telah berlalu Cicci memberi
motivasi kepada anak-anak didiknya. Cicci sesekali bertutur sapa dengan
orang-orang yang sengaja lewat di depan Masjid hanya untuk berjabat tangan
sekaligus memberi selamat kepadanya atas prestasi yang ia dapatkan sebagai
orang yang berpendidikan.
“Adik-adik sekalian, Kakak minta maaf karena
konsentasi belajar kita di sore hari ini terganggu. Tetapi Kakak perlu
sampaikan kepada kalian bahwa mereka yang menemui dan memberikan selamat kepada
Kakak semuanya adalah teman-teman Kakak sewaktu Kakak masih seumuran dengan
kalian. Jadi Kakak minta maaf kalau adik-adik jadinya tidak fokus belajar kali
ini.”
“Kak, aku juga punya kakak perempuan. Kakak saya
sepertinya seumuran dengan Kakak Cicci. Beberapa bulan yang lalu Kakak saya
sudah menyelesaikan kuliahnya. Dia juga sudah diwi.... diwi... diwi....”
“Maksudnya, kakakmu sudah wisuda?”
“Iya, Kak Cicci. Wisuda maksud aku. Apa kakak
Cicci mengenalnya?” Ujar Haura Nazhifa anak didik Cicci di TPA.
“Siapa nama kakakmu, Dek.”
“Ainun, Kak.”
“Oh, iya. Jadi Dek Haura adiknya Ainun Mahya, ya?”
“Iya, Kak.”
“Kakak Cicci mengenal kakakmu, Haura! Kami sangat
akrab. Kakakmu teman sebangku kakak sewaktu kami sekolah SMP di desa tetangga.
Kakakmu itu hobinya pelajaran IPS dan Matematika.”
Hari menjelang sore. Langit biru di ujung barat
sana perlahan memerah. Suasana kampung yang berpenduduk kurang lebih dua ratus
kepala keluarga terlihat makin sepi. Sembari menunggu waktu magrib tiba, Cicci
Muazara Ulfa, demikian nama lengkap Kakak Cicci berbagi pengalamannya ketika
masih bersama sahabatnya Ainun Mahya sewaktu masih duduk di bangku SMP.
“Dulu sewaktu masih SMP, kami selalu bersama-sama.
Kalau bukan Kakak yang ke rumahnya, dia yang ke rumah Kakak. Kakak teringat,
suatu ketiak dia bertanya kepada Kakak,
“Ci, apa cita-citamu?”
Kakak bertanya balik, “Apa itu cita-cita, Nun?”
Kemudian Ainun menjawab, “Cita-cita itu adalah
keinginan atau kehendak yang selalu ada di pikiran untuk ingin kita wujudkan
suatu saat nanti.”
Ainun melanjutkan pertanyaannya, “Suatu saat nanti
Cicci mau menjadi apa, mau jadi presiden meneruskan Ibu Megawati Soekarno
Putri, atau mau jadi bupati, jadi dokter, guru, petani, atau kamu mau jadi
pedagang?”
Lalu Kakak menjawab pertanyaan Ainun tersebut,
“Aku mau jadi pedagang. Jadi aku sebagai penjual, Ainun sebagai pembelinya!”
Setelah itu, kami tertawa dengan terbahak-bahak.
Ainun menghela nafas sejenak.
Lalu Ainun berucap lagi, “Kamu itu cocoknya jadi
tukang kayu aja. Kalau aku mau membangun rumah kamu yang jadi tukangnya. Nanti
aku kasi kamu uang. Hehehe.”
“Ah, bagaimana bisa, Nun! Masak aku jadi tukang
kayu. Aku kan cewek.” Ucapku dengan sedikit nada kesal.
“Kakak Cicci. Bagaimana ceritanya sehingga kalian
bisa berpisah, Kak?” Tanya salah seorang anak didik Cicci, Mufida.
Sebelum Cicci menjawab pertanyaan anak didiknya
itu, ia memperhatikan wajah-wajah anak didiknya. Nampak serius mendengarkan dan
memperhatikan cerita Cicci.
“Adik-adikku yang manis. Jangan terlalu serius ya.
Santai saja. Kita padukan antara santai dan serius. Jadinya santai tapi serius.
Oke....!”
“Oke, Kakak.” Serentak anak-anaknya menjawab.
Cicci bagkit dari tempat duduknya, melangkah
mendekati jendela masjid hendak ingin melihat sekeliling masjid apakah
orang-orang sudah mulai berdatangan untuk melaksankan sholat magrib atau hanya
sekadar menunggu waktu magrib tiba sambil mereka berdzikir seperti halnya yang
dilakukan orang-orang kota. Akan tetapi belum satu pun ada yang terlihat
datang. Wajar karena waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Kebanyakan
orang-orang di kampungnya baru pulang dari kebun mereka masing-masing.
Cicci pun kembali duduk di hadapan anak-anak
didiknya, “Baiklah, Kakak akan menjawab pertanyaan Mufida. Setelah kami lulus
SMP, kami ingin bersama-sama melanjutkan sekolah ke SMA. Tapi kami tidak punya
biaya. Eh, sebelum Kakak Cicci lanjutkan cerinya, Kakak beritahu kalau SMA itu
adik-adik adalah singkatan dari Sekolah Menengah Atas. Sekolah setelah kita
sudah lulus SMP. Ada yang tahu tidak SMA itu seperti apa?”
“Tidak......” Jawab anak-anak itu dengan polosnya.
Sebelum Cicci melanjutkan kisah kenapa Cicci dan
sahabatnya berpisah, Cicci menjelaskan kepada anak-anak didiknya tentang
sekolah. Mulai dari PAUD, TK, SD, sampai pada perguan tinggi hingga
anak-anaknya itu paham atau setengah paham dari penjelasan Cicci.
Beberapa menit berlalu Cicci menjelaskan
tahap-tahap pendidikan formal tersebut, Cicci mulai melanjutkan ceritanya.
“Dulu, setelah kami lulus dari bangku SMP, kami
punya rencana untuk melanjutkan SMA di kota dan pengennya kami bersama-sama.
Namun karena kami sama-sama tidak ada biaya akhirnya kami pun batal berangkat
ke kota. Satu tahun kemudian ada informasi jika pemerintah kabupaten
menyediakan beasiswa kepada dua orang anak dari pedesaan untuk masuk di sekolah
SMK Pertanian. Singkat cerita, Ainun terpilih saya tidak terpilih karena ada
beberapa juga teman-teman yang mendaftar. Waktu itu salah seorang yang terpilih
adalah seorang cowok, Kandar. Kandar sudah dua tahun menganggur lantaran kami
semua bernasib sama, tidak punya biaya untuk sekolah. Akhirnya, Ainunlah dan
Kandar yang terpilih untuk mendapat beasiswa tersebut. Setelah itu, Kakak tidak
pernah bertemu lagi dengan Ainun.”
Dari cerita Cicci, anak-anak didiknya mengetahui
kisahnya tersebut. Setelah dua hari telah berlalu, kedua teman Cicci berangkat
ke kota untuk melanjutkan sekolah, Cicci pun meminta kepada kedua orang tuanya.
Cicci ingin pergi merantau katanya. Akan tetapi orang tuanya tidak mengizinkan.
Karena orang tuanya tidak mengizinkan Cicci pun menangis di depan kedua orang
tuanya. Sambil menangis Cicci menyampaikan bahwa ingin melanjutkan sekolahnya.
Melihat keadaan Cicci, kedua orang tuanya pun ikut
menangis. Sambil berkata kepada Cicci, Ibunya menyampaikan bahwa jika
bersekolah mereka sangat mengizinkan. Tetapi, masalahnya kedua orang tuanya
tidak sanggup membiayai sekolahnya. Sudah lulus SMP adalah suatu kesyukuran
yang luar biasa. Sejak SMP Cicci boleh dikatakan tidak terbebani dengan soal
pembayaran karena buku tulis dan seragam sekolah ia dapatkan dari pembagian
sekolah.
Bahkan ia pun berangkat dari rumahnya seorang
sendiri ke sekolah meski harus berjalan kaki kurang lebih empat kilo setiap
harinya untuk bisa sampai di sekolahnya.
Masalah uang memang sangat sulit mereka dapatkan.
Jangankan untuk membiayai kebutuhan hidup dan biaya sekolah di kota melihat
uang pun itu sangat jarang.
Cicci tetap memaksakan kehendaknya dan meminta
ridho dan doa dari kedua orang tuanya. Meski tidak bisa sekolah tetapi Cicci
bertekad untuk merantau ke kota. Ia punya keyakinan bahwa niatnya untuk
menuntut ilmu suatu hari akan tercapai.
Meski kedua orang tuanya dipenuhi rasa
kekhawatiran terhadap putri dan anak semata wayangnya itu, tetapi keduanya
harus mengikhlaskan dan mengijinkan anaknya itu untuk menuruti keinginannya
menuntut ilmu di kota.
Ia merantau ke kota dengan seorang diri. Sejak
berangkat di desa hingga akhirnya Cicci tiba di kota selalu mendapatkan
keberuntungan. Dengan bekal ilmu yang ia dapatkan selama duduk di bangku SMP
sesampainya di kota dia langsung mencari masjid. Dari masjid itulah ia
manfaatkan untuk bertanya kepada ustadz-ustadzah dan menceritakan semuan
tentang dirinya.
Tahun pertama di kota dia tidak langsung lanjut ke
SMA tetapi dia harus bekerja di warung makan. Pekerjaan pertamanya adalah
sebagai tukang pel dan tukang cuci piring. Selain bekerja ia juga aktif dalam
kegiatan keagamaan hingga akhirnya ia menjadi salah satu pembantu untuk
mengajar di TPA.
Nasib baik berpihak dengan Cicci hingga akhirnya
ia bisa melanjutkan pendidikannya lagi setelah terhenti selama dua tahun. Ia
melanjutkan sekolahnya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di kota tersebut. Dan
selepas lulus dari MAN ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Timur Tengah,
Mesir, negeri para Nabi.
Kini ia buktikan kepada orang-orang di desanya
bahkan kepada dunia bahwa seorang anak dari desa dan seorang perempuan tidak
perlu malu untuk berkeinginan menuntut ilmu. Julukan pelajar dan sebutan
mahasiswa dari orang-orang sekeliling menjadi kebanggaan tersendiri yang semua
remaja harus merasakannya hingga akhirnya menjadi suatu kenangan terindah.
---
“Assalamu Alaikum...”
“Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh.”
Cicci dan anak-anak didiknya menjawab salam dari Ibu Diyah.
Ibu Diyah adalah guru ngaji Cicci sewaktu Cicci
masih kecil. Dan kini anak Ibu Diyah, Mufida juga diajari oleh Cicci. Ibu Diyah
sudah bertahun-tahun mengajar di Sekolah Dasar di desa Cicci. Ibu Diyah
ditugaskan oleh negara untuk mengajar di desa tersebut hingga akhirnya Ibu
Diyah mendapatkan suami dari salah seorang pemuda kampung yang gagah dan cerdas
meski ia hanya tamatan Sekolah Dasar.
---
“Eh, anak-anak, kalian diajari apa sama Kakak
Cicci?” Tanya Ibu Diyah kepada anak-anak didik Cicci sambil tersenyum ria.
“Mama, Kakak Cicci mengajari kami membaca dan
menulis huruf Arab. Selain itu, kami juga mendengarkan pengalaman Kakak Cicci.
Pokoknya asyik deh, Mamah.” Jawab Mufidah kepada mamanya.
Hari benar-benar mendekati petang dan sebentar
lagi muaddzin akan mengumandangkan adzan magrib. Jamaah satu per satu
mendatangi masjid. Ibu Diyah dan Cicci beserta anak-anak TPA sedang
bersiap-siap untuk mengerjakan sholat magrib.
---
Bekasi, 2015