Cerpen - Tangisan Cantik Dikebisuan Malam - Arsad Ddin

Sabtu, 28 Maret 2020

Cerpen - Tangisan Cantik Dikebisuan Malam


Malam kian larut. Bayang-bayang suram berbaris di bawah sinar purnama. Awan mengambang di awang-awang, bergerombol lalu-lalang di angkasa. Angin pun kian mencekik. Aliran sungai terus memercik di antara bebatuan berlumut.
Dua orang anak laki-laki sedang asyik memburu ikan yang sedang istirahat malam di pinggiran sungai yang dangkal. Nampak sorot mata udang yang berkilau kecil oleh cahaya senter. Udang itu perlahan mundur tahu situasi dalam bahaya. Salah sorang dari anak itu membidiknya hingga udang itu tak bisa berbuat apa-apa. Satu per satu udang di sepanjang pinggiran sungai dangkal berhasil ia bidik.
Dihamparan karan bebatuan pipih, dibawah purnama di malam itu, kedua anak tersebut kembali ke perkemahan mereka. Nampak beberapa kemah berjajar beratap daun rotan di pinggiran sungai. Beberapa tumpukan api mampu mengurangi rasa kebekuan malam itu. Di atas bara api terpanggang ikan-ikan yang mulai mengering hasil tangkapan seharian Hasan dan kawan-kawan.
Dengan hati yang riang, kedua anak tersebut tengah asyik menikmati udang-udang hasil tangkapan berusan di pinggiran sungai. Satu per satu udang-udang yang masih segar itu memenuhi bara api. Lumayan, cukup buat penghangat malam beku itu.
Desir angin malam yang bertiup sepoi di antara dedaunan yang ranum kian menusuk kulit. Nampak dari kejauhan beberapa orang berjalan menyusuri pinggiran sungai kian mendekati perkemahan. Mereka adalah rombongan Hasan yang telah kembali ke perkemahan setelah lelah menangkap ikan di sungai sepanjang malam itu. Kedua anak yang menjaga perkemahan memperbesar nyala apinya.
Sampailah sudah orang-orang itu di perkemahan. Dengan suara yang riuh disertai tawa penuh kegembiraan suasana perkemahan yang tadinya sunyi kini telah ramai. Suara burung malam seolah menghilang dalam keriuhan orang-orang itu.
Nampak beberapa orang yang tengah sibuk membersihkan diri di pinggiran sungai yang dangkal. Sementara yang lain disibukkan dengan ikan-ikan hasil tangkapan malam itu. Yang lainnya mengelompokkan ikan-ikan sesuai dengan ukurannya. Malam itu, hasil tangkapan ikan lumayan banyak. Mulai dari ikan mujair, ikan emas, belut, dan jenis ikan lainnya yang ukuran kecil maupun ukuran besar semuanya ada.
Salah seorang diantara mereka mulai memotong-motong ikan-ikan itu. Satu dua tiga tumpukan-tumpukan ikan kian membesar. Tumpukan-tumpukan ikan tersebut akan dibagikan ke semua orang-orang yang ada saat itu. Semuanya harus mendapatkan bagian sesuai dengan peranannya masing-masing tak terkecuali kedua anak yang bertugas menjaga perkemahan.
Potongan-potongan ikan siap dibagikan. Ikan ukuran kecil tidak dipotong dan nampak masih utuh dalam tumpukan.
Malam kian rapat. Orang-orang mulai terlihat capek dan lelah dan beberapa diantaranya mulai kantuk. Namun masih terlihat beberap orang-orang tua sibuk dengan rutinitas keagamaannya yang sempat tertunda. Mereka sedang melaksanakan sholat isya. Sedangkan yang lainnya mulai memanggang ikan bagiannya di atas bara api sebelum ia tinggal tidur.
Kini tiba waktunya membaringkan tubuh di atas hamparan karang pipih setelah seharian penuh lelah menangkap ikan disepanjang sungai yang mereka lalui. Bara api kian menyala dan terdengar letusan-letusan kecilnya. Sedang air sungai terus mengalir memercik di sela-sela batu. Suara-suara malam kian membisu ditengah riuhnya tiupan angin yang menerpa pepohonan. Sementara beberap orang tengah terdengar suara ngoroknya.
---
Dari kejauhan terdengar salak anjing. Sementara di atas sebuah rumah panggung terdengar suara beberapa orang. Cahaya pelita terlihat dari sela-sela dinding bambu. Nampak beberapa orang sedang sibuk. Salah seorang wanita cantik terbaring di atas bilah bambu yang beralaskan tikar daun pandan. Wanita tersebut sedang dibantu seorang wanita tua. Tidak jauh dari wanita itu terlihat beberapa orang tua duduk bersila melingkar mengelilingi sebuah pelita.
Ditengah kewas-wasan, tiba-tiba keharuan di atas rumah mungil itu pecah seiring dengan pecahnya sebuah tangisan cantik dari seorang bayi yang baru lahir.
“Alhamdulillah, Fatimah melahirkan dengan selamat.” Ucap seorang wanita tua, Sang Dukun yang sedang membantu lahiran Fatimah dengan selamat.
“Alhamdulillah....” Ucap semua orang yang menyaksikan lahiran itu.
“Bayinya laki-laki atau perempuan, Nek?” Tanya seorang gadis kecil yang ikut menyaksikan prosesi lahiran itu, yang tak lain adik ipar Fatimah sendiri.
“Bayinya cantik. Cantik seperti kamu. Cantik seperti mamanya.” Jawab nenek itu.
Sementara itu, ibu Fatima sendiri sedang sibuk di dapur memasak air. Beberapa menit kemudian airnya mendidih dan telah masak.
Tengah malam yang purnama, Sang Putri kecil terus melantungkan tangisannya seakan kedua bibir tipisnya mengucapkan mantera baiat bahwa ia telah lahir ke dunia yang fanah ini dengan tangan menggenggam keras ditengah keharuan dan kegembiraan orang-orang di sekelilingnya yang telah lama menunggunya tanpa kesaksian Sang Ayah. Sang Ayah yang tengah berjuang demi memenuhi kebutuahn hidup keluarga kecilnya. Sang Ayah yang tidak sempat mengumandangkan adzan dan iqamah saat ia lahir sehingga kakeklah yang harus melakukan itu.
Tangisannya terus mewarnai kebisuan malam itu di atas tumpahan-tumpahan air hangat yang membasahi bersih kulit-kulit tipisnya.
Beberap menit kemudian setelah Fatimah dan Sang buah hati pertamanya membersihkan diri di tengah malam itu yang dibantu oleh dukun dan orang-orang yang hadir, Fatinah meminang buah hatinya. Fatimah terbayang betapa lengkapnya kebahagiaanya malam itu dan betapa gembiranya Hasan, suaminya jika ia juga berada disisinya dan menyaksikan perjuangan antara hidup dan mati melahirkan Sang buah hati pertama mereka dengan selamat dan cantik.
Dua hari yang lalu, lepas sembahyang subuh ia sempat merasakan sesuatu dari perutnya yang sedang buncit tua itu. Dan Hasan suaminya sempat menanyakannya. Namun Fatimah menganggapnya mungkin itu hal yang biasa-biasa saja. Akhirnya pagi-pagi sekali Hasan pamit kepada isterinya yang tercinta itu untuk pergi bersama rombongan orang-orang di kampungya yang akan menangkap ikan di sebuah sungai yang lumayan jauh dari desa mereka.
Melihat wajah suaminya, Fatimah tak mau menghalangi keceriahan dan kemauan yang menggebu-gebu di hati suaminya itu untuk ikut pergi bersama rombongan di desanya itu.
Syukurlah, atas permintaan Hasan menjelang sore hari orang tua Hasan atau mertua Fatimah datang ke rumah mereka untuk menemani Fatimah selama Hasan belum ada di rumahnya. Menjelang sholat isya orang tua Fatimah pun juga datang menjenguk Fatimah dari desa sebela. Kedua orang tuanya datang dari desa sebelah dengan berjalan kaki melewati hutang, pegunungan, kali, dan sungai besar selama kurang lebih 4 Jam. Jarak antara desa orang tua Fatimah dengan desanya kurang lebih 20 KM. Fatimah bukan penduduk asli di desa yang sedang ia tempati saat ini. Fatimah tinggal dan menetap di desa tersebut setelah menikah dengan Hasan. Selepas keduanya menikah mereka langsung menetap di desa Hasan, suaminya.
Dengan penerangan pelita, Fatimah tak henti-hentinya memandangi gadis kecilnya. Ia pun menidurkan gadis kecilnya lalu berbaring di sisinya menanti sisa malam agar segera berlalu berharap semoga besok suaminya pulang secepatnya.
---
            Tiupan angin kian riuh, menerpa dedaunan, mengiris kulit, menembus sweater yang membalut tubuh Hasan. Tiupan angin itu malah menambah kerisauan dan kegundahan akan keadaan seperti apa yang sedang terjadi terhadap Sang Isteri tercintanya yang ia tinggal di rumahnya. Hasan selalu terbayang akan wajah cantik isterinya yang setahun sudah ia nikahi dan kini sedang hamil tua mengandung buah hati pertama hasil dari cinta dan kasih sayang mereka.
“Timah, isteriku sayang. Bagaimana keadaanmu sekarang sayang? Semoga senantiasa baik-baik selalu.” Ucap Hasan dalam hatinya yang penuh dengan kekhawatiran terhadap isteri tercintanya.
Dalam kegundahan dan kegelisahan Hasan mengangkat kedua belah tangannya seraya memohon kepada Tuhan agar isterinya senantiasa dalam Lindungan-Nya.
“Ya, Allah. Ya Rabbii. Ya Tuhanku yang Esa yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kasihani dan sayangilah isteriku serta lindungilah ia dalam kesehariannya. Ya Rabbi yang Maha Perkasa hamba titip isteri hamba kepada-Mu. Hanya kepada-Mulah kami meminta dan memohon perlindungan. Aamiin....”
---
Polewali Mandar, 2010

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda