Cerpen - Tangisan Cantik Dikebisuan Malam
Malam kian larut. Bayang-bayang suram berbaris di
bawah sinar purnama. Awan mengambang di awang-awang, bergerombol lalu-lalang di
angkasa. Angin pun kian mencekik. Aliran sungai terus memercik di antara
bebatuan berlumut.
Dua orang anak laki-laki sedang asyik memburu ikan
yang sedang istirahat malam di pinggiran
sungai yang dangkal. Nampak sorot mata udang yang berkilau
kecil oleh cahaya senter. Udang itu perlahan mundur tahu situasi dalam bahaya.
Salah sorang dari anak itu membidiknya hingga udang itu tak bisa berbuat
apa-apa. Satu per satu udang di sepanjang pinggiran sungai dangkal berhasil ia
bidik.
Dihamparan karan bebatuan pipih, dibawah purnama
di malam itu, kedua anak tersebut kembali ke perkemahan mereka. Nampak beberapa
kemah berjajar beratap daun rotan di pinggiran sungai. Beberapa tumpukan api
mampu mengurangi rasa kebekuan malam itu. Di atas bara api terpanggang
ikan-ikan yang mulai mengering hasil tangkapan seharian Hasan dan kawan-kawan.
Dengan hati yang riang, kedua anak tersebut tengah
asyik menikmati udang-udang hasil tangkapan berusan di pinggiran sungai. Satu
per satu udang-udang yang masih segar itu memenuhi bara api. Lumayan, cukup
buat penghangat malam beku itu.
Desir angin malam yang bertiup sepoi di antara
dedaunan yang ranum kian menusuk kulit. Nampak dari kejauhan beberapa orang
berjalan menyusuri pinggiran sungai kian mendekati perkemahan. Mereka adalah
rombongan Hasan yang telah kembali ke perkemahan setelah lelah menangkap ikan
di sungai sepanjang malam itu. Kedua anak yang menjaga perkemahan memperbesar
nyala apinya.
Sampailah sudah orang-orang itu di perkemahan.
Dengan suara yang riuh disertai tawa penuh kegembiraan suasana perkemahan yang
tadinya sunyi kini telah ramai. Suara burung malam seolah menghilang dalam
keriuhan orang-orang itu.
Nampak beberapa orang yang tengah sibuk membersihkan
diri di pinggiran sungai yang dangkal. Sementara yang lain disibukkan dengan
ikan-ikan hasil tangkapan malam itu. Yang lainnya mengelompokkan ikan-ikan
sesuai dengan ukurannya. Malam itu, hasil tangkapan ikan lumayan banyak. Mulai
dari ikan mujair, ikan emas, belut, dan jenis ikan lainnya yang ukuran kecil
maupun ukuran besar semuanya ada.
Salah seorang diantara mereka mulai
memotong-motong ikan-ikan itu. Satu dua tiga tumpukan-tumpukan ikan kian
membesar. Tumpukan-tumpukan ikan tersebut akan dibagikan ke semua orang-orang yang ada saat
itu. Semuanya harus mendapatkan bagian sesuai dengan peranannya masing-masing
tak terkecuali kedua anak yang bertugas menjaga perkemahan.
Potongan-potongan ikan siap dibagikan. Ikan ukuran
kecil tidak dipotong dan nampak masih utuh dalam tumpukan.
Malam kian rapat. Orang-orang mulai terlihat capek
dan lelah dan beberapa diantaranya mulai kantuk. Namun masih terlihat beberap
orang-orang tua sibuk dengan rutinitas keagamaannya yang sempat tertunda.
Mereka sedang melaksanakan sholat isya. Sedangkan yang lainnya mulai memanggang
ikan bagiannya di atas bara api sebelum ia tinggal tidur.
Kini tiba waktunya membaringkan tubuh di atas
hamparan karang pipih setelah seharian penuh lelah menangkap ikan disepanjang
sungai yang mereka lalui. Bara api kian menyala dan
terdengar letusan-letusan kecilnya. Sedang air sungai terus mengalir memercik
di sela-sela batu. Suara-suara malam kian membisu ditengah riuhnya tiupan angin
yang menerpa pepohonan. Sementara beberap orang tengah terdengar suara
ngoroknya.
---
Dari kejauhan terdengar salak anjing. Sementara di
atas sebuah rumah panggung terdengar suara beberapa orang. Cahaya pelita
terlihat dari sela-sela dinding bambu. Nampak beberapa orang sedang sibuk.
Salah seorang wanita cantik terbaring di atas bilah bambu yang beralaskan tikar
daun pandan. Wanita tersebut sedang dibantu seorang wanita tua. Tidak jauh dari
wanita itu terlihat beberapa orang tua duduk bersila melingkar mengelilingi
sebuah pelita.
Ditengah kewas-wasan, tiba-tiba keharuan di atas
rumah mungil itu pecah seiring dengan pecahnya sebuah tangisan cantik dari
seorang bayi yang baru lahir.
“Alhamdulillah, Fatimah melahirkan dengan
selamat.” Ucap seorang wanita tua, Sang Dukun yang sedang membantu lahiran
Fatimah dengan selamat.
“Alhamdulillah....” Ucap semua orang yang
menyaksikan lahiran itu.
“Bayinya laki-laki atau perempuan, Nek?” Tanya
seorang gadis kecil yang ikut menyaksikan prosesi lahiran itu, yang tak lain
adik ipar Fatimah sendiri.
“Bayinya cantik. Cantik seperti kamu. Cantik
seperti mamanya.” Jawab nenek itu.
Sementara itu, ibu Fatima sendiri sedang sibuk di
dapur memasak air. Beberapa menit kemudian airnya mendidih dan telah masak.
Tengah malam yang purnama, Sang Putri kecil terus
melantungkan tangisannya seakan kedua bibir tipisnya mengucapkan mantera baiat
bahwa ia telah lahir ke dunia yang fanah ini dengan tangan menggenggam keras
ditengah keharuan dan kegembiraan orang-orang di sekelilingnya yang telah lama
menunggunya tanpa kesaksian Sang Ayah. Sang Ayah yang tengah berjuang demi
memenuhi kebutuahn hidup keluarga kecilnya. Sang Ayah yang tidak sempat
mengumandangkan adzan dan iqamah saat ia lahir sehingga kakeklah yang harus
melakukan itu.
Tangisannya terus mewarnai kebisuan malam itu di
atas tumpahan-tumpahan air hangat yang membasahi bersih kulit-kulit tipisnya.
Beberap menit kemudian setelah Fatimah dan Sang
buah hati pertamanya membersihkan diri di tengah malam itu yang dibantu oleh
dukun dan orang-orang yang hadir, Fatinah meminang buah hatinya. Fatimah
terbayang betapa lengkapnya kebahagiaanya malam itu dan betapa gembiranya
Hasan, suaminya jika ia juga berada disisinya dan menyaksikan perjuangan antara
hidup dan mati melahirkan Sang buah hati pertama mereka dengan selamat dan
cantik.
Dua hari yang lalu, lepas sembahyang subuh ia
sempat merasakan sesuatu dari perutnya yang sedang buncit tua itu. Dan Hasan
suaminya sempat menanyakannya. Namun Fatimah menganggapnya mungkin itu hal yang
biasa-biasa saja. Akhirnya pagi-pagi sekali Hasan pamit kepada isterinya yang
tercinta itu untuk pergi bersama rombongan orang-orang di kampungya yang akan
menangkap ikan di sebuah sungai yang lumayan jauh dari desa mereka.
Melihat wajah suaminya, Fatimah tak mau
menghalangi keceriahan dan kemauan yang menggebu-gebu di hati suaminya itu untuk
ikut pergi bersama rombongan di desanya itu.
Syukurlah, atas permintaan Hasan menjelang sore
hari orang tua Hasan atau mertua Fatimah datang ke rumah mereka untuk menemani
Fatimah selama Hasan belum ada di rumahnya. Menjelang sholat isya orang tua Fatimah
pun juga datang menjenguk Fatimah dari desa sebela. Kedua orang tuanya datang
dari desa sebelah dengan berjalan kaki melewati hutang, pegunungan, kali, dan
sungai besar selama kurang lebih 4 Jam. Jarak antara desa orang tua Fatimah
dengan desanya kurang lebih 20 KM. Fatimah bukan penduduk asli di desa yang
sedang ia tempati saat ini. Fatimah tinggal dan menetap di desa tersebut
setelah menikah dengan Hasan. Selepas keduanya menikah mereka langsung menetap
di desa Hasan, suaminya.
Dengan penerangan pelita, Fatimah tak
henti-hentinya memandangi gadis kecilnya. Ia pun menidurkan gadis kecilnya lalu
berbaring di sisinya menanti sisa malam agar segera berlalu berharap semoga
besok suaminya pulang secepatnya.
---
Tiupan angin kian riuh, menerpa
dedaunan, mengiris kulit, menembus sweater
yang membalut tubuh Hasan. Tiupan angin itu malah menambah kerisauan dan
kegundahan akan keadaan seperti apa yang sedang terjadi terhadap Sang Isteri
tercintanya yang ia tinggal di rumahnya. Hasan selalu terbayang akan wajah
cantik isterinya yang setahun sudah ia nikahi dan kini sedang hamil tua
mengandung buah hati pertama hasil dari cinta dan kasih sayang mereka.
“Timah, isteriku sayang. Bagaimana keadaanmu
sekarang sayang? Semoga senantiasa baik-baik selalu.” Ucap Hasan dalam hatinya
yang penuh dengan kekhawatiran terhadap isteri tercintanya.
Dalam kegundahan dan kegelisahan Hasan mengangkat
kedua belah tangannya seraya memohon kepada Tuhan agar isterinya senantiasa
dalam Lindungan-Nya.
“Ya, Allah. Ya Rabbii. Ya Tuhanku yang Esa yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kasihani dan sayangilah isteriku serta
lindungilah ia dalam kesehariannya. Ya Rabbi yang Maha Perkasa hamba titip
isteri hamba kepada-Mu. Hanya kepada-Mulah kami meminta dan memohon perlindungan.
Aamiin....”
---
Polewali Mandar, 2010