Arsad Ddin

Sabtu, 06 April 2019

Cerpen - Sekolah Kolom Rumah

“Ting... Ting... Ting...”
Pak Mahmud baru saja memukul lonceng pertanda jam pelajaran telah dimulai. Para siswa berlarian masuk kelas. Syahril ketua kelas satu memimpin teman-temannya memberi salam kepada Pak Guru Mahmud. Usai berdoa, para siswa serius dengan pandangan ke depan memperhatikan Pak Mahmud.
“Assalamu Alaikum.”
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Ucap siswa menjawab salam Pak Mahmud.
Seperti biasa, setiap Pak Mahmud memulai pelajaran, ia selalu membaca puji-pujian dan sholawat atas Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Pak Mahmud lanjut bercerita, “Anak-anak sekalian, Bapak mohon perhatiaanya sejenak. Ada beberapa hal yang Bapak mau sampaikan, sehubungan dengan bantuan pemerintah dengan PNPM-Mandiri[1]. Terkait dengan adanya proyek PNPM ini, maka kemungkinan besar dalam jangka waktu seminggu ke depan Bapak tidak bisa masuk mengajar. Karena Bapak yang bertanggung jawab dengan Proyek ini. Tidak ada yang bisa mengurusi selain Bapak. Tapi bukan berarti kalian tidak masuk sekolah. Kalian tetap masuk sekolah.
“Maaf, Pak. Kalau kami tetap masuk belajar, terus siapa yang akan mengajar kami, Pak?” Sahut salah seorang siswa.
“Kalau Bapak tidak masuk mengajar, kan ada Pak Abdul...!” Jawab siswa yang lainnya.
“Betul, Pak. Kalau Bapak tidak masuk mengajar siapa yang menggantikan Bapak untuk mengajar kami? Pak Abdul sedang sakit tidak mungkin beliau bisa mengajar, Pak...!” Kali ini Sang Ketua Kelas yang bertanya.
“Anak-anak sekalian, Bapak harap kalian bersabar dan tenang, ya. Bapak hari ini rencananya akan berangkat ke kota. Selain kepantingan Desa kita, Bapak juga akan menyetor laporan bulanan di sekolah induk kita. Tapi, kalian tidak usah khawatir untuk tidak akan belajar. Karena kalian kan bisa belajar sendiri atau kalian bisa belajar kelompok. Dan satu hal lagi yang Bapak mau sampaikan, bah...” Bapak Mahmud belum selesai pembicaraannya dengam siswa-siswanya, seorang pemuda yang berpakaian rapi mengetuk pintu lalu memberi salam.
Dan Pak Mahmud dan siswa-siswa pun serentak menjawab salam pemuda tersebut.
“Mari masuk.” Pak Mahmud mempersilhkan tamunya itu.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
“Mari silahkan duduk, Pak.” Pak Mahmud mempersilahkan duduk pemuda tersebut.
“Thank you, Sir. Eh.... Maaf, Pak. Maksud saya terima kasih, terima kasih banyak, Pak.”
Pak Mahmud hanya tersenyum mendengar jawaban pemuda itu, Fadhli, demikian nama pemuda tersebut. Pak Mahmud maklum, sebab Fadhli sudah delapan tahun meninggalkan desa semenjak lulus di bangku Tsanawiyah (MTs). Fadhli adalah salah satu alumni angkatan pertama sekolah filial yang dibina Pak Mahmud di pelosok desa yang sangat jauh dari kota.
Semenjak Fadhli pergi, ia tidak pernah pulang ke desanya itu. Semua orang termasuk keluarganya sendiri telah mengira bahwa Fadhli telah tiada. Dan satu kegembiraan masyarakat di desanya, tak terkecuali keluarganya, dan juga Pak Mahmud sendiri, putra desa yang telah menghilang bertahun-tahun tanpa kabar sedikit pun kini telah hadir ditengah-tengah mereka dengan menyandang sebuah gelar S.Pd. (Sarjana Pendidikan).
Fadhli telah menjadi seorang Sarjana Pendidikan yang pertama di desanya. Memang sebelumnya sudah ada beberapa orang yang sempat duduk di bangku kuliah, akan tetapi mereka hanya program diploma, termasuk Pak Mahmud. Mungkin karena mahalnya biaya pendidikan dan desa mereka merupakan desa yang terisolir sehingga hanya satu dua orang diantara mereka yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Bersyukurlah, karena atas perjuangan Pak Mahmud, Pak Mahmud mendirikan kelas filial di desanya sehingga anak-anak di desa bisa mengeyang pendidikan ke tingkat SLTP. Itu pun masih banyak diantara anak-anak desa yang tidak mau sekolah lagi setelah mereka selesai dari Sekolah Dasar. Semuanya itu disebabkan karena orang tua mereka sendiri tidak paham dan tidak mengerti dengan arti pentingya pendidikan. Bagi mereka yang penting anaknya sudah bisa membaca itu sudah cukup.
Setiap hari tidak jarang dijumpai anak-anak usia sekolah turut bekerja keras membantu orang tua mereka. Anak-anak itu layaknya orang dewasa, parang di pinggang, sepatu laras, dan alat pertanian lainnya adalah perlengkapan mereka setiap harinya lalu lalang keluar masuk kebun dan ladang. Sungguh memperihatinkan anak-anak seperti mereka. Orang tua mereka hanya mengajarkan bagaimana agar bisa makan hari ini. Bagi mereka pendidikan itu kurang penting bahkan tidak penting. Pendidikan hanya menyusahkan dan tempat untuk hura-hura. Anggapan mereka hanya orang-orang kaya dan orang-orang kotalah yang membutuhkan itu.
---
“Anak-anak sekalian, beliau ini yang akan menggantikan Bapak selama Bapak belum pulang. Beliau akan mengajar kalian. Bapak harap kalian tetap sopan dan aktif belajar. Tidak boleh malas apalagi bolos masuk sekolah. Insya Allah beliau juga akan terus bersama-sama kita. Satu hal lagi, beliau ini juga murid Bapak. Alumni angkatan pertama di sekolah ini. Beliau meninggalkan kita delapan tahun yang lalu. Beliau murid Bapak, tapi itu dulu. Sekarang Bapak pantasnya jadi murid beliau sebab sekarang ilmunya jauh lebih dalam dari pada Bapak. Hehehe. Bapak harap semoga kalian bisa mengikuti jejaknya, ya. Aamiin...”
“...Aamiin...” Serentak siswa-siswi Pak Mahmud mengaminimya.
“Baiklah. Nanti beliau sendiri yang akan mencerintakan lebih dalam tentang dirinya.”
Sebelum Pak Mahmud mempersilahkan Fadhli, Pak mahmud menyuruh dua orang muridnya, ketua dan wakil ketua kelas untuk menginformasikan kepada kelas dua dan kelas tiga agar mereka berkumpul di ruangan kelas satu. Semua siswa berkumpul di satu ruangan. Siswa-siswa pun berdatangan ke ruang kelas satu sambil menggotong bangku untuk tempat duduk mereka sesuai dengan perintah Pak Mahmud.
Setelah siswa-siswa sudah tertib dan semuanya sudah kebagian tempat duduk, Pak Mahmud pun melanjutkan arahan dan pembiacaraannya.
“Kayaknya Rismah, Nasir, dan Dirsan tidak masuk sekolah, ya?”
“Iya, Pak. Ini surat dari Rismah. Nasir dan Dirsan tidak ada kabarnya.” Sahut salah seorang temannya sambil menarik selembar kertas dari tasnya.
Dari suara belakang, salah seorang siswi turut bicara, “Pak, sewaktu saya dalam perjalanan menuju sekolah tadi pagi-pagi saya bertemu dengan Dirsan. Ia titip pesan bahwa dia tidak bisa masuk sekolah hari ini karena ada salah satu keluarganya yang meningggal, Pak. Dia melayat bersama dengan keluarganya. Dia tidak sempat membuat surat izin karena mereka buru-buru dan harus langsung berangkat melayat.
“Tok... Tok... Tok.... Assalamu Alaikum....”
Dengan sopan, Nasir langsung masuk ke dalam kelas dan menjelaskan kepada Pak Mahmud perihal mengapa ia terlambat pagi itu masuk sekolah.
“Maaf, Pak. Saya... Saya... Saya terlambat, Pak. Saya harus terlebih dahulu membatu ibu memasak dan mencuci pakaian. Ibu saya lagi kurang enak badan.”
“Tidak apa-apa. Langsung   saja bergabung dengan teman kamu.”
“Baiklah anak-anak. Bapak rasa mungkin cukup apa yang Bapak bisa sampaikan pagi ini. Ada pun mengapa Bapak mengumpulkan kalian dalam satu ruangan ini supaya kalian bisa mendengarkan perkenalan pertama dari alumni pertama di sekolah kita yang berhasil menyelesaikan sarjananya.”
Pak Mahmud pun mempersilahkan kepada Pak Fadhli dan sekaligus meminta pamit kepadanya serta kepada murid-muridnya bahwa Pak Mahmud harus segera berangkat ke kota pagi menjelang siang itu.
---
Pagi beranjak siang. Sebuah sekolah di sudut desa yang gedungnya didirikan lima tahun yang lalu berkat adanya program pemerintah PNPM Mandiri Pak Mahmud pemperjuangkan bahwa PNPM Mandiri yang masuk di desanya harus dimanfaatkan untuk pembangunan gedung sekolah yang mana sebelumnya siswa-siswanya belajar di bawah kolong rumah Pak Mahmud. Pak Fadhli sendiri sampai ia tamat SLTP di sekolah itu ia masih belajar di bawah kolong rumah Pak Mahfud.
 Siang itu nampak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jika selama ini siswa-siswa pada saat jam pelajaran mereka belajar di dalam ruangan, kali ini berbeda. Dua jam setelah Pak Fadhli memberi pelajaran dan motivasi hidup bagi siswa-siswanya di dalam kelas, selanjutnya siswa-siswa diajak ke halaman sekolah duduk melingkar di bawah naungan pepohonan yang rindang untuk melanjutkan materi yang disampaikan Pak Fadhli. Hal ini cukup memberi semangat baru bagi para siswa-siswanya.
Bahkan banyak juga warga yang datang melihat proses belajar mengajar tersebut. Warga yang secara tidak sengaja lewat di depan sekolah yang baru saja kembali dari kebun pun tidak ikut ketinggalan untuk singgah menyaksikan aksi Pak Fadhli bersama murid-muridnya.
Kehadiran Pak Fadhli tidak hanya menjadi penyemangat bagi siswa-siswanya itu. Meski baru sehari kembali ke kampunya setelah beberapa tahun tidak pernah pulang ia langsung menjadi pusat perhatian masyarakat dan sudah mulai mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan dan sekolah.
---
Bekasi, 2012



[1] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri Perdesaan)

Motivasi - Kala Harapan Di Ujung Tanduk

Mungkin
Anda juga termasuk salah seorang yang pernah berada pada posisi ini “kala harapanku di ujung tanduk”. Tatkala asa tak lagi sesuai dengan kenyataan dan dirimu belum siap untuk menerima kenyataan, sedangkan disatu sisi dirimu memilih bertahan untuk sebuah keyakinan bahwa asamu selalu ada untukmu dan tak akan pernah pergi dengan mudah begitu saja. Beribu doa yang kamu panjatkan disemua waktu suci seolah berlalu begitu saja di hadapan-Nya. Dan akhirnya apa yang kamu khawatiran benar-benar singgah bahkan datang untuk melenyapkan asa yang beribu waktu kamu telah korbankan hanya untuknya dan sekejap pun berlalu sebelum ia (asa) memuaskan batin dan nafsumu.
Disaat demikian pikiran yang mulanya tenang kini mulai mengatur rencana agar tetap bertahan dengan asa agar terbebas dan lolos dari maut ujung tanduk itu. Selain doa dan ketekunan ibadah saat suasana sepertu itu, usaha lain yang mungkin melibatkan bantuan orang lain pun akan kita lakukan.
Sebuah kisah. Seorang mahasiswa baru yang baru beberapa hari diterima di sebuah Univeristas. Dia adalah salah seorang dari 150 orang yang diterima dengan bebas tes di Universitas tersebut dari ribuan pendaftar. Pada saat itu semua mahasiswa baru mempunyai kewajiban untuk mebayar uang pembangunan gedung sebesar Rp. 500.000 termasuk dari 150 orang yang bebas tes tersebut.
Pemuda ini tidak memiliki uang sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk pembangunan gedung kampus. Ia hanya memilik kurang lebih Rp. 200.000 dari sisa yang ia telah pergunakan sejak memulai registrasi sampai ia diterima menjadi mahasiswa. Sisa uang tersebut itu pun ia persiapkan sebagai biaya hidupnya untuk beberapa minggu ke depan.
Sebagai perantau yang datang ke tanah orang untuk menimbah ilmu tentu sangat sulit baginya. Apalagi kedua orang tuanya hanyalah seorang petani biasa yang tidak meiliki penghasilan tetap. Dan biaya hidupnya masih ia gantungkan kepada kedua orang tuanya.
Adanya desakan dari panitia penerimaan mahasiswa baru agar segera melunasi uang gedung membuat ia semakin kebingungan harus mendapatkan uang dari mana. Dalam situasi tersebut, ia teringat dengan salah seorang gurunya sewaktu masih di SMA yang ia kenal dengan baik dan sangat baik padanya.
Selepas sholat isya ia beranikan diri menelepon gurunya tersebut. Berlalu beberapa menit basa-basi ia memulai mengutarakan maksud dan tujuan sebenarnya. Setelah gurunya paham akan permasalahan yang dihadapi siswanya saat di SMA, dengan senang hati bersedia membantu untuk meminjamkan uang sejumlah yang dibutuhkan siswanya ini. Namun pemuda ini belum memiliki rekening sehingga ia harus mencari teman yang bisa membantunya hanya untuk numpan transferan uang dari gurunya.
Keesokan harinya, salah satu koran nasional memuat pengumuman bahwa di Universitas yang dimasuki pemuda membebaskan semua biaya gedung kepada mahasiswa baru yang dinyatakan bebas tes. Pengumuman tersebut membuat para mahasiswa baru yang bebas tes legah dan senang karena ternyata bukan hanya si pemuda ini yang tidak bisa membayar uang gedung tersebut tetapi terdapat beberapa orang yang memiliki nasib sama sepertinya.
Maksud pemuda ini untuk meminjam uang kepada gurunya ia batalkan. Tak lupa ia sampaikan ucapan terima kasihnya kepada gurunya atas kesediaannya untuk membantu meskipun tidak jadi.
***
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah, 2:155)
***
 Begitulah akhir dari sebuah ujian materil sekaligus ujian psikologis bagi pemuda ini. Disaat ia tidak mampu berbuat banyak untuk melunasi pembayaran gedung di kampusnya sebagai suatu keharusan bagi setiap mahasiswa baru selain ia hanya bisa berserah diri pada Allah SWT. ia juga berharap Allah SWT. melepaskan belenggu kesusahannya. Serta ia juga tetap berusaha sebisa mungkin yang ia bisa lakukan. Dan benar Allah SWT. memberikan jalan mudah bahkan sangat mudah dengan jalan terbebas dari pembayaran tersebut. Satu sen pun Allah bebaskan baginya. Subhanallah, Syukur Alhamdulillah, tiada kata yang patut kita ucapkan selain kata syukur kepada-Nya yang tidak pernah lengah terhadap hambanya.
Rp. 500.000 adalah jumlah yang tidak ada nilainya bagi kebanyakan orang. Tetapi tidak semua orang bisa merasakan hal tersebut. Jangankan Rp. 500.000, uang Rp. 10.000 masih banyak orang sangat susah untuk mendapatkannya. Perlu perjuangan dan kerja keras. Termasuk pemuda ini dan keluarganya. Niat dan keyakinan yang membuat sang pemuda untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi bahwa semua orang memiliki haknya masing-masing untuk mendapatkan ilmu dalam meraih impian dan kesuksesan. Bukan karena kemiskinan yang ia derita sehingga ia juga harus miskin ilmu dan miskin impian.
Sang pemuda ini juga menyadari bahwa ia hanya berusaha sebagaimana anjuran Rasululullah SAW. bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, toh jika suatu saat nanti Allah ternyata berkehendak lain terhadapnya maka siapa yang dapat menolak kehendak Allah selain menjalaninya dengan ikhlas. Allah SWT. selalu punya rencana buat hambanya dan bagi hamba yang bersyukur baginya kesudahannya adalah kebahagiaan dan kelimpahan nikmatNya.
Kisah ini mungkin hanyalah sebuah kisah biasa. Namun kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya beberapa derajat oleh Allah SWT. serta yang bersabar dalam kesempitan seraya senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT. akan dilapangkan kesulitan setelahnya.
***
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS Alam-Nasyrah, 94: 5-6)
***

Buku - Kumpulan Cerita Pendek: TEKAD MENUJU IBU KOTA

Sejak Tahun 2009 saya suka menulis cerita pendek dan pusi. Waktu itu saya tulis tangan di lembaran kertas hvs atau pun di buku tulis. Namun saya menulis disaat mau aja. Eh lambat laun cerita-cerita yang saya tulis mencapai belasan judul jadi kepikiran untuk dibukukan. Dan cerita-cerita saya ini saya sebut dengan 
Mendengarkan
SUARA HATI DARI PELOSOK NEGERI

Cover Belakang dan Cover Depan


Logo Buku

Sekilas CV (2017)

CV ini dibuat Tahun 2016 untuk saya cantumkan di dalam Buku Kumpulan Cerpen TEKAD MENUJU IBU KOTA. Dan saya juga cantumkan dalam Skripsi Tahun 2017. CV ini tidak update tetapi cukup mewakili hidup saya yang sederhana bukan siapa-siapa.

Sekolahku MIS 367 Penatangan, Nasibmu Kini di Usia 40 Tahun!



Kondisi Sekolah Bagian Belakang, Rawan Ambruk

Polewali Mandar, Sulawesi Barat - (6/4/2019) Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) DDI 367 Penatangan kebanggaan masyarakat Penatangan Desa Patambanua yang berada di pelosok Polewali Mandar kondisinya kini memperihatinkan. Sampai dengan saat ini tidak banyak yang berubah sejak saya mulai sekolah tahun 1995.
Sejak tahun 1979 sampai sekarang Gedung Sekolah MI DDI Penatangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat belum pernah direnovasi.

Menurut informasi yang saya terima dari sepupu yang juga saat ini mulai mengabdikan diri sebagai guru honorer, bahwa sudah beberapa kali MEMOHON bantuan pembangunan gedung sekolah ke Pemprov tapi tidak pernah di gubris. Dan kini bangunanya ambruk akibat tiupan angin dan tidak layak lagi untuk di jadikan sarana belajar mengajar.




Suasana Sekolah Tampak dari Dalam Ruangan


Sejak Tahun 1995 saat pertama kali saya bersekolah dinding papan dan palpon masih belum ada perubahan bahkan jauh sebelum saya lahir mungkin sudah terbuat seperti itu. Papan yang diguanakan sebagai dinding dan plapon semua dibuat menggunakan gergaji besar bukan senso.



Halaman Sekolah

Minggu, 29 Maret 2015

Sebuah Cerita Menuju Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi

Lulus dari bangku SMA semua orang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ya hampir semua orang bercita-cita bisa melanjutkan pendidikannya. Tapi cara orang berbeda-beda, ada yang tidak khawatir memikirkan dimana nantinya akan kuliah, ada juga yang sibuk mempersiapkan kuliahnya di kampus paforitnya, tapi ada juga yang meratapi nasib kedepannya bisa kuliah atau tidak. Untuk hal yang terakhir ini tidak sedikit orang yang merasakannya, yahhh... dan saya salah satunya. Sedih ya.

Tapi saya berusaha untuk tabah dan selalu berdoa untuk bisa melanjutkan kembali kuliah setelah berhenti di Tahun 2010. Saya hanya kuliah selama dua semester di Universitas Muhammaduah (UNISMUH), Makassar. Selain motovasi dari diri sendiri, saya juga bersyukur karena mendapat dukungan moril dan doa dari kedua orang tua tercinta serta dari semua keluarga saudara-saudara Bapak dan Saudara-saudara Ibu hingga akhirnya bisa melanjutkan kuliah di Tahun 2011.


Pernah gagal dan terhenti kuliah tentu hal yang sangat menyakitkan. Saya pun ambil positinya dan selalu berbaik sangka pada Allah. Alhamdulillah Allah menjawab doa-doa saya dan memberikan harapan baru. Harapan baru ini sepertinya jauh lebih baik dari pada yang saya impikan sebelumnya. Kuliah di tanah jawa, Bekasi, Jawa Barat, dekat dengan Ibu Kota, Jakarta. Senang dan bahagia tentunya. Semula sempat sedih kini bisa membuka wajah ceriah lagi meski harus memulai semuanya dari awal lagi.

Singkat cerita, saya melanjutkan kuliah di Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi tahun 2011 dan mengambil Program Studi Manajemen Logistik dan lulus tahun 2014. Suka duka tentu ada, tetapi sukanya lebih banyak. Sedihnya karena saya hanya bisa pulang kampung bertemu dengan kedua orang tua dan semua keluarga satu tahun sekali saat lebaran. Tidak masalah itulah resiko kebahagian.

Organisasi Mahasiswa di Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi

Kamis, 26 Maret 2015

Cuplikan Nilai-nilai Kehidupan dari Masyarakat Penatangan Desa Patambanua

1. Kerja Bakti

Sikap gotong royong, persatuan, dan kerja bakti adalah prinsip hidup masyarakat Penatangan yangkan terus terpelihara. Masyarakat yang mulia, santun, dan penuh keramah-tamahan. Semoga tetap terjaga dan tidak di adu-domba oleh yang lain.


Komunitas sederhana adalah komunitas yang dekat dengan Tuhan. Komunitas yang jauh dari kebohongan, kemunafikan, dan penipuan. Jauh dari praktik-praktik pemerasan massal seperti yang sedang diperlombakan dan diperebutkan oleh penjarah-penjarah rakyat. Yah... wal-hasil mereka pun berhasil meraih mimpinya. Dengan berdalih atas nama memperjuangkan keadilan dan kesejateraan mereka mengobral janji. Yah namanya orang yang memang butuh bantuan, perjuangan, dan perhatian dengan senang hati - dengan hati kami para rakyat menyambut baik janji itu. Tetapi ternyata semua itu hanya gombalan semata yang kini jadi nyata dari hati hati parah penjarah.

TERANIYA....? Kalau dikatakan teraniya ya mungkin terlalu sadis kedengarannya, karena dalam hati-lubuk kecil kami masih tetap menyimpan sebuah harapan jikalau bakal akan ada yang benar-benar memperjuangkan seperti yang sering dijanjikan kepada rakyat. Itu sih harapan tetapi semoga saja itu bukan angan-angan hampa saja. Selain ada harapan meskipun sedikit, sebagai komunitas yang hidup sangat biasa-biasa hati kami selalu dekat sama Tuhan, tidak sombong dimuka bumi, dan tidak hanyut dalam kemaksiatan.

2. Semangat Hidup

Negeri yang indah ini terus memberi kami semangat untuk mengelolanya dengan baik dan menggarapnya dengan cara kami sendiri. Ya dengan cara kami sendiri. Meski hasilnya tentu jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan cara menggarapnya disentuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi hasilnya sangat terasa nikmat diperut kami. Dan juga mampu membesarkan anak-anak tercinta penuh dengan sopan santun dan kesederhanaan lewat petuah-petuah alam rimba yang agung.

Pulang dari kebun warga tidak lupa membawa kayu bakar maupun sayur-sayuran yang didapatkan dari kebun
Tosumolong/atau setelah panen padi di ladang

3. Jalan Desa Patambanua (Penatangan) ke Desa Karombang

Naik gunung, turun gunung, menyusuri sungai, anak sungai dibawah rimbunan pohon-pohon rimba adalah suasana jalan yang harus ditempuh. Meski capek dan cukup melelahkan tetapi suasana alam yang begitu cantik membuat tetesan-tetesan keringat pun ikut menikmatinya. Batu licin dan berlumut, burung-burung yang beterbangan dan hinggap di ranting-ranting sambil berkicau manis, aliran-aliran air yang memercik sungguh menggoda dan merayu begitu lembut setiap kita yang melewatinya.



4. Tunas-tunas Desa

Jika bangsa punya tunas tentu desa juga punya tunas. Lihatlah tunas-tunas Penatangan sangat antusias dalam berolahraga. Terdidik ditengah kesederhanaan, asing dengan tawuran dan perkelahian, dan juga tentu peradaban yang tinggi juga masih asing bagi mereka hanya mengenal dari percikan-percikan kecil sebuah peradaban. Suasana alamlah yang membentuk mereka untuk tahu apa dan bagaimana yang terbaik berlaku terhadap alam.


Murid Madrasah Ibtidaiyah DDI Penatangan sedang bermain Voli



 Adu pinalti saat pertandingan sepak bola mini
Sumberhttps://www.facebook.com/photo.php?fbid=1685399728352376&set=gm.732807970124270&type=1&theater


Beberapa Siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) sedang berfoto sebelum berangkat sekolah di depan jemuran padi yang baru saja panen di ladan

Pangngasi'ang (Tanam Padi) di Lereng Gunung, Tradisi Masyarakat di Kampungku

PANGNGASIA'ANG. Pangngasia'ang adalah aktivitas masyarakat Penatangan, Desa Patambanua, Kec. Bulo, Kab. Polewali Mandar - Sulawesi Barat untuk menanam gabah di ladang dengan menggunakan kayu sebagai alat untuk membuat lobang kecil di tanah lalu kemudian gabah dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Aktivitas ini dilakukan sekali dalam setahun dan dilaksanakan secara rutin. Pangngasia'ang merupakan rangkaian dari mangnguma. Rangkaian yang dimaksud yaitu, dimulai dari mangngitai posemba'ang (survei lokasi sebagai ladang), posemba'ang (menebang pohon), popekajuang (menebang sisa-sisa kayu yang belum ditebang), petunuang (membakar kayu yang telah kering), pokahoang (membersihkan ladang dari sisa-sisa akar kayu), pangngasi'ang (menanam padi di ladang), peduku'ang (membersihkan rumput ladang yang sudah ditanami gabah), pepareang (memetik padi/panen padi), pappangngau'ang pare (memindahkan tumpukan padi yang telah disatukan di suatu tempat yang masih berada di ladang untuk dipindahkan ke lumbung padi), dan pelokoang (membuat lumbung padi dan menyimpan padi di lumbung tersebut). Rangkaian inilah yang dimaksud dengan pangnguma'ang/mangnguma.

Dalam tulisan ini saya membahas sedikit tentang pangngasia'ang. Pada umumnya pangngasia'ang terdiri dua jenis pekerjaan, yaitu ada yang mangngasi' dan ada yang mambubu'. Pekerjaan mangngasi' pada umumnya dilakukan oleh golongan laki-laki dan mambubu' pada umumnya dilakukan oleh perempuan. Hal yang paling menarik dalam pangngasia'ang adalah siula'.

Siula' dilakukan secara berpasangan, ada yang mangngasi' dan ada yang mambubu'. Siula' dilakukan dengan gerakan yang cepat. Saat pangngasi' (orang yang membuat lubang dengan kayu)  telah membuat satu lubang maka pambubu' (orang yang mengisikan gabah ke dalam lubang) harus mengisikan gabah padi dalam lubang tersebut. Jika salah satunya tidak mampu menyeimbangi antara pasangannya maka dikatakan kalah, baik itu pangngasi' yang tidak mampu membuat lubang secara cepat atau pun pangbubu' tidak mampu mengejar lawaannya sehingga lubang banyak yang belum disii dengan gabah.


Pangngasi'ang. Foto diunggah dari akun facebook https://www.facebook.com/sahril.sahebuddin.

Yang paling menarik lagi dari kegiatan pangngasia'ang ini pada sub kegiatan siula' adalah siula' dilakukan oleh pasangan sendiri baik itu dilakukan dengan cebe'na (pacarnya) maupun tumaena (tunangannya). Bagi mereka yang melakukan ini pasti menjadi pusat perhatian dan bahan "ledekan" dalam pangngasia'ang.

Waktu pelaksanaan pangngasi'ang tidak boleh sembarang waktu. Dalam kepercayaan masyarakat setempat terdapat hari-hari yang bagus dalam melaksanakan pangngasi'ang. Demikan juga pangngasi'ang tidak bolaeh dilakukan sebelum syo'bo' (dukun panguma'ang) telah melakukan pangngasi'ang. Setelah syo'bo' telah membukan pangngasi'ang di kebunnya sendiri barulah kemudian masyarakat lainnya mengikuti dan melaksanakan pangngasi'ang pada hari-hari berikutnya.

Pangngasi'ang ini dilakukan secara gotong royong dan menjadi kegiatan untuk saling peduli dan memupuk rasa persaudaraan dan kekeluargaan.


***Kegiatan menanam padi di ladang ini banyak juga dilakukan di berbagai daerah lainnya.


Selasa, 24 Maret 2015

Cerpen - Segudang Cita-cita yang Tak Sampai

By: Arsad Samsuddin
Bekasi, 29 Desember 2011

Sorak-sorai tak henti-hentinya  mewarnai jalan-jalan protokol di sepanjang kotaku. Satu per satu gerombolan remaja dari berbagai arah turun ke jalan meluapkan kegembiraan mereka dengan berkonvoi mengendarai sepeda motor. Nampak warna-warni yang mewarnai rambut mereka —kuning, merah, biru, dan putih. Pakaian putih abu yasng dikenakan para teman-teman ABG itu sudah disulap sedemikian rupa dengan pilos. Itu bukan kali yang pertama, bahkan boleh dikatakan itu seolah menjadi rutinitas tahunan bagi para pelajar yang sakral dan pamali jika sekali saja ditinggalkan atau bahkan tidak dilakukan. Atau lebih tepatnya dikatakan hari itu adalah hari peringantan corat-coret nasional pelajar SMA yang merayakan kelulusannya setelah menepuh studi selama tiga tahun.

Berbeda dengan keadaan di sekolahku. Tak ada tawa, tak ada kegembiraan, dan tak ada corat-coret. Walau hari itu kami siswa dan guru-guru harusnya bergembira dengan pengumuman kelulusan tahun ini, karena sekolah kami sembilan puluh sembilan persen siswanya lulus. Setidaknya ada senyum, bukan air mata dan tangisan.

Sungguh malang nasib sahabatku. Sahabat yang terus memotivasi aku, inspirator bagi sahabat-sahabatnya, bahkan sebagian guru mengaku sering mendapat pandangan baru yang timbul dari ide-idenya. Banyak guru yang mengakui kejeniusan dan kecerdaskannya.

Namun siapa sangka hari itu adalah hari berkabung bagi keluarga besar sekolahku, bagi sahabat-sahbatnya, dan bagi keluarga khususnya kedua orang tuanya yang ditinggalkannya. Bahkan menurut aku hari berkabung nasional. Dalam prediksi aku, kelak ia akan menjadi agent of change bagi nusa dan bangsa. Walaupun prediksi itu dipatahkan oleh Ujian Nasioan, hanya karena Ujian Nasional, tapi fakta membuktikan bahwa prestasi dan kejeniusannya sangat gemilang dan loyal dibandingkan dengan sekian ratus teman-temannya. Kami hanya bisa bernafas lebih legah jika ia ada.

Teringat suatu ketika, dua tahun yang lalu dihalaman sekolah dibawah rimbunan pohon mangga yang berjejer rapi nan indah. Kami sempat iseng-iseng berdiskusi tentang impian atau cita-cita kami masing-masing. Diskusi itu atas usulan dia pula.

“Sejak kecil aku sudah berniat jadi seorang dokter. Itu cita-citaku. Aku ingin meneruskan profesi ibuku.” Ujar Hilmi, gadis cantik yang agak cuek tapi hatinya baik.

Hamid mengalihkan pandangannya padaku, pertanda giliran aku yang menyampaikan cita-citaku.
“Cita-citaku sederhana saja, tapi luar biasa. Dan aku ingin menjadi contoh bagi yang lain.”

“Terus apa cita-citamu.” Tanya Hilmi.

“Kelak jika sudah lulus SMA, aku ingin pulang kampung membangun desaku. Desaku kaya akan sumber daya alam. Tapi kehidupan masyarakatnya sangat memperihatinkan. Hanya satu dua orang saja yang mampu hidup dengan baik, itu pun jauh dari kelayakan yang sebenarnya. Boro-boro makan roti, melihat uang pun hampir tidak pernah dalam setahun.”

“Wah, masi ada ya kehidupan seprti itu di era modernisai dan hedonisme ini?”

“Wah, giman sih, Her? Indonesia itu luas. Dari Sabang sampai Merauke. Jadi pemerintah sulit mengontrolnya wilayahnya. Buktinya pada tahun 1998 pemerintah tidak mampu mempertahankan NKRI. Timor-timor dilepaskan, yang sekarang Timor Leste. Walaupun GAM, RMS, OPM, NII bisa ditepis, tapi bukan berarti keutuhan NKRI aman, artinya kita harus mampu mempertahankan dan meneruskan NKRI yang diperjuangkan oleh nenek moyang kita dengan darah dan nyawa mereka. Jangan jadi penghianat yang ikut menyuburkan daftar koruptor. Dan satu hal yang akan memperihatinka, jika seumpama kita ke Papua, Maluku, Makassar, dan ke Aceh harus pakai paspor. Bagaiman jadinya? Ngerih, kan...?!
Meskipun Indonesia kaya akan sumber daya alam, tapi dana tetap saja tidak cukup untuk mensejahterahkan dan  memakmurkan kehidupan bangsa...! Sebenarnya cukup, bahkan lebih, tapi para koruptor melahap habis uang rakyat. Jadinya seperti itu. Ada dana dari pemerintah untuk merealisasikan programnya, tapi belum sampai pada masyarakat dana itu sudah habis. Lagian perpanjangan tangan dari pemerintah agar dana itu sampai pada masyarakat terpencil dan daerah terisolir saat pelaksanaannya perhatian mereka kurang dan terkesan malas. Mereka haya ingin dapat uang. Parahnya laporan formalitas dan legalitas pun begitu mudahnya dipercaya oleh pemerintah” Jelas Hamid, menjawab pertanyaan Heri.

“Terus, bagaiman dengan pendidikanmu? Apa tidak ada rencana untuk kuliah?” Heri kembali bertanya pada Sofyan.

“Sebenarnya pengen sekali kuliah ambil jurusan Bahasa Indonesia. Tapi biaya sekolahku saja selami ini dari hasil kerja sampingan saya sepulang sekolah. Aku tinggal disini pun menumpang sama orang lain. Tapi entahlah, biarlah waktu yang menjawab. Kita baru kelas dua.”

“Sekarang giliran kamu, Her!” Hamid menyuruh Heri untuk menyampaikan cita-citanya.

“Aku ingin jadi polisi.” Jawab Heri dengan singkat.

“Sekarang giliran ustad.” Hamid menoleh ke Abdullah yang akrab dipanggil ustad.

“Insya Allah setelah lulus SMA aku ingin kuliah di Kairo memperdalam bahasa Arab dan ilmu hadits.” Teman-temannya serentak mengaminkan, “Aamiin....”

“Nah, sekarang giliran sang Prof.”

“Ah, biasa aja Sofyan.”

Teriknya matahari mulai menyentuh ubun-ubun kami yang tembus dari celah ranting-ranting dan dedaunan pohon mangga membuat kami bergeser untuk menuntaskan diskusi kami waktu itu. Kami sering menghabiskan waktu istirhat dengan diskusi dan tukar pikiran.

Hamid mulai bercerita dengan impian-impiannya. Dan tak tersa waktu istirahat telah usai. Kami pun bergegas masuk kelas. Satu pemahaman yang dapat saya simpulkan waktu itu adalah ia tidak bercita-cita menjadi seorang guru, bukan dokter, dan bukan pula polisi. Menurutnya jadilah seorang yang bermanfaat yang bisa dirasakan oleh semua orang. Bukan hanya bisa menolong orang sakit seperti cita-cita Hilmi, bukan hanya bisa mengajar bagi siswa, bukan hanya menjadi pengayong bagi masyarakat. Akan tetapi jadilah pengusaha yang berjiwa sosial. Sebab setelah sukses, kita bisa membangun sekolah supaya guru-guru bisa mengajar, panti asuhan, pesantren, dan rumah-rumah ibadah supaya ulama-ulama dan rohaniawan bisa mendidik moral masyarakat, membangun sanggar tani, sanggar seni, karang taruna yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang mulai dari perkotaan sampai ke pelosok desa.

Begitu besar cita-citanya untuk negeri ini, tapi sayang itulah yang terjadi. Ia harus pergi mendahului kami. Ia terkapar dihalaman sekolah berhamburan darah. Sebelumnya aku sempat melihat dia di lantai tiga dan beberapa detik kemudian kegembiraan seketika menjadi kesedihan. Yang disayangkan, ia tak seharusnya mengambil jalan pintas hanya karena ia tidak lulus dalam Ujian Nasioanal. Tapi mungkin ia merasa malu dengan teman-teman yang sempat mengejeknya beberapa minggu sebelum Ujian Nasional berlangsung. Sempat ada yang mengata-ngatainya dengan nada yang sangat mengejek. “Bagaimana ya, kalau orang pintar justru tidak lulus. Hahahahaha...............” Semoga ia tenang di alam sana. Amin.

Air mataku tak terasa menetes mengenang sosok sahabatku saat seorang pramugari di dekatku membagikan dua bungkus roti dan segelas akua. Disaat jam istirahat, kami sering makan roti. Sepotong roti dan segelas akua cukup untuk pengganjal perut kami sampai jam pelajaran usai.

Aku buang pandanganku ke jendela pesawat, berharap gumpalan awan menjadi penawar rasa dukaku yang begitu dalam sejak beberapa bulan terakhir. Tapi entah mengapa aku merasa bersalah. Seolah aku menghianati dia. Ia terbaring membawa segudang cita-cita yang tak sampai. Sementara aku akan melanjutkan pendidikanku ke ibu kota. Dialah yang lebih pantas mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah, buka aku.


Sahabatku yang piawai menguntai kata dan kalimat. Puisi dan cerpenmu yang banyak di muat di koran lokal akan jadi salah satu amal jariahmu yang kau titipkan pada kami, adik-adikmu, dan generasi muda penerus bangsa.

Puisi - Rat Karib Kucing

Isak tangis adikku redalah sudah
Terlelap dinina bobokan

Biar
Tidurlah jangan takut
Salak anjing meraung menggonggong
Siap menguntai


Adikku
Kelak kau melihat kucing kecilmu berbulu putih
Bermain kejar-kejaran di lubang tikus
Datang mengeong minta ikan
Jangan heran!
-liang itu liang besar-

Jika kau tak buat perangkap
lemari dapur sama saja tidak terkunci

Rat indah menjijkkan adalah penggerogotnya

Kucing kecilmu lahap
Melahap lauk sarapanmu
Tinggal serpihan tulang-tulang yang tersisah

Jika kau tidak buat perangkap
satu dua tiga
Lemarimu tinggal ditambal

Kucing kecilmu tak berdaya
Jangan heran!
-Rat karib kucing

By
Arsad Samsuddin

Puisi - Sudah Anda Terpilih?

Pendengaran
Penglihatan
Perasaan
Diutus oleh pemilik pertiwi yang tak henti terjarah
Kepada kita yang terpilih

Sudahkah Anda terpilih?


Disaat dia bertamu
Dia mendekat lalu berbisik
...

Disaat dia pulang
Bisikan itu terus mengalun sedih penuh harap

Sejenak diam terpaku

Dalam diam aku
Hati menjerit melirik kemulut
Mulut hanya bisa bungkam

Hati menjerit melirik ketangan
Tangan mengulur
Menguntai kata

Dalam untaian aku
Hati mendikte
Tangan merangkai pengaduan
Hendak kepada siapa yang terketuk membuka

Jantung massa rakyat
Segala penjuru berdenyut
Rindu tokoh-tokoh tua
Memuja kaum sesama
(Dalam sejarah)

Meneriaki tokoh-tokoh tua
Tidak tahu diri
(Dalam reformasi)

Muda boleh bereriak
Tua boleh bertetiak
Tua-muda berteriak
Muda sampai tua berteriak
Semua berteriak
Berteriakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
"Maling teriak maling"

Denyut jantung yang lain
Meneriakkan Tauhid
Sembari air mata batin menetes
Melihat darah dibalik Pancasila telah usang

Seribu langkah memang pasti
Serubu aral juga pasti

Mereka itu bukan kalian
Mereka itu adalah mereka


By

Arsad Samsuddin

Ad Placement

Sastra

Puisi

Cerpen