Cerpen - Sekolah Kolom Rumah
“Ting... Ting... Ting...”
Pak Mahmud baru saja memukul lonceng pertanda jam
pelajaran telah dimulai. Para siswa berlarian masuk kelas. Syahril ketua kelas
satu memimpin teman-temannya memberi salam kepada Pak Guru Mahmud. Usai berdoa,
para siswa serius dengan pandangan ke depan memperhatikan Pak Mahmud.
“Assalamu Alaikum.”
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Ucap
siswa menjawab salam Pak Mahmud.
Seperti biasa, setiap Pak Mahmud memulai
pelajaran, ia selalu membaca puji-pujian dan sholawat atas Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam.
Pak Mahmud lanjut bercerita, “Anak-anak sekalian,
Bapak mohon perhatiaanya sejenak. Ada beberapa hal yang Bapak mau sampaikan,
sehubungan dengan bantuan pemerintah dengan PNPM-Mandiri[1].
Terkait dengan adanya proyek PNPM ini, maka kemungkinan besar dalam jangka
waktu seminggu ke depan Bapak tidak bisa masuk mengajar. Karena Bapak yang
bertanggung jawab dengan Proyek ini. Tidak ada yang bisa mengurusi selain
Bapak. Tapi bukan berarti kalian tidak masuk sekolah. Kalian tetap masuk
sekolah.
“Maaf, Pak. Kalau kami tetap masuk belajar, terus
siapa yang akan mengajar kami, Pak?” Sahut salah seorang siswa.
“Kalau Bapak tidak masuk mengajar, kan ada Pak
Abdul...!” Jawab siswa yang lainnya.
“Betul, Pak. Kalau Bapak tidak masuk mengajar
siapa yang menggantikan Bapak untuk mengajar kami? Pak Abdul sedang sakit tidak
mungkin beliau bisa mengajar, Pak...!” Kali ini Sang Ketua Kelas yang bertanya.
“Anak-anak sekalian, Bapak harap kalian bersabar
dan tenang, ya. Bapak hari ini rencananya akan berangkat ke kota. Selain
kepantingan Desa kita, Bapak juga akan menyetor laporan bulanan di sekolah
induk kita. Tapi, kalian tidak usah khawatir untuk tidak akan belajar. Karena
kalian kan bisa belajar sendiri atau kalian bisa belajar kelompok. Dan satu hal
lagi yang Bapak mau sampaikan, bah...” Bapak Mahmud belum selesai
pembicaraannya dengam siswa-siswanya, seorang pemuda yang berpakaian rapi mengetuk
pintu lalu memberi salam.
Dan Pak Mahmud dan siswa-siswa pun serentak
menjawab salam pemuda tersebut.
“Mari masuk.” Pak Mahmud mempersilhkan tamunya
itu.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
“Mari silahkan duduk, Pak.” Pak Mahmud
mempersilahkan duduk pemuda tersebut.
“Thank you, Sir. Eh.... Maaf, Pak. Maksud saya
terima kasih, terima kasih banyak, Pak.”
Pak Mahmud hanya tersenyum mendengar jawaban
pemuda itu, Fadhli, demikian nama pemuda tersebut. Pak Mahmud maklum, sebab
Fadhli sudah delapan tahun meninggalkan desa semenjak lulus di bangku
Tsanawiyah (MTs).
Fadhli adalah salah satu alumni angkatan pertama sekolah filial yang dibina Pak
Mahmud di pelosok desa yang sangat jauh dari kota.
Semenjak Fadhli pergi, ia tidak pernah pulang ke
desanya itu. Semua orang termasuk keluarganya sendiri telah mengira bahwa
Fadhli telah tiada. Dan satu kegembiraan masyarakat di desanya, tak terkecuali
keluarganya, dan juga Pak Mahmud sendiri, putra
desa yang telah menghilang bertahun-tahun tanpa kabar sedikit pun kini telah
hadir ditengah-tengah mereka dengan menyandang sebuah gelar S.Pd. (Sarjana
Pendidikan).
Fadhli telah menjadi seorang Sarjana Pendidikan
yang pertama di desanya. Memang sebelumnya sudah ada beberapa orang yang sempat
duduk di bangku kuliah, akan tetapi mereka hanya program diploma, termasuk Pak
Mahmud. Mungkin karena mahalnya biaya pendidikan dan desa mereka merupakan desa
yang terisolir sehingga hanya satu dua orang diantara mereka yang bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Bersyukurlah, karena atas perjuangan Pak Mahmud, Pak Mahmud mendirikan
kelas filial di desanya sehingga anak-anak di desa bisa mengeyang pendidikan ke tingkat SLTP. Itu pun masih
banyak diantara anak-anak desa yang tidak mau sekolah lagi setelah mereka
selesai dari Sekolah Dasar. Semuanya itu disebabkan karena orang tua mereka
sendiri tidak paham dan tidak mengerti dengan arti pentingya pendidikan. Bagi
mereka yang penting anaknya sudah bisa membaca itu sudah cukup.
Setiap hari tidak jarang dijumpai anak-anak usia
sekolah turut bekerja keras membantu orang tua mereka. Anak-anak itu layaknya
orang dewasa, parang di pinggang, sepatu laras, dan
alat pertanian lainnya adalah perlengkapan mereka
setiap harinya lalu lalang keluar masuk kebun dan ladang. Sungguh
memperihatinkan anak-anak seperti mereka. Orang tua mereka hanya mengajarkan
bagaimana agar bisa makan hari ini. Bagi mereka pendidikan itu kurang penting
bahkan tidak penting. Pendidikan hanya menyusahkan dan tempat untuk hura-hura.
Anggapan mereka hanya orang-orang kaya dan orang-orang kotalah yang membutuhkan
itu.
---
“Anak-anak sekalian, beliau ini yang akan
menggantikan Bapak selama Bapak belum pulang. Beliau akan mengajar kalian.
Bapak harap kalian tetap sopan dan aktif belajar. Tidak boleh malas apalagi
bolos masuk sekolah. Insya Allah beliau juga akan terus bersama-sama kita. Satu
hal lagi, beliau ini juga murid Bapak. Alumni angkatan pertama di sekolah ini.
Beliau meninggalkan kita delapan tahun yang lalu. Beliau murid Bapak, tapi itu
dulu. Sekarang Bapak pantasnya jadi murid beliau sebab sekarang ilmunya jauh
lebih dalam dari pada Bapak. Hehehe. Bapak harap semoga kalian bisa mengikuti
jejaknya, ya. Aamiin...”
“...Aamiin...” Serentak siswa-siswi Pak Mahmud
mengaminimya.
“Baiklah. Nanti beliau sendiri yang akan mencerintakan
lebih dalam tentang dirinya.”
Sebelum Pak Mahmud mempersilahkan Fadhli, Pak
mahmud menyuruh dua orang muridnya, ketua dan wakil ketua kelas untuk
menginformasikan kepada kelas dua dan kelas tiga agar mereka berkumpul di
ruangan kelas satu. Semua siswa berkumpul di satu ruangan. Siswa-siswa pun
berdatangan ke ruang kelas satu sambil menggotong bangku untuk tempat duduk
mereka sesuai dengan perintah Pak Mahmud.
Setelah siswa-siswa sudah tertib dan semuanya
sudah kebagian tempat duduk, Pak Mahmud pun melanjutkan arahan dan
pembiacaraannya.
“Kayaknya Rismah, Nasir, dan Dirsan tidak masuk
sekolah, ya?”
“Iya, Pak. Ini surat dari Rismah. Nasir dan Dirsan
tidak ada kabarnya.” Sahut salah seorang temannya sambil menarik selembar
kertas dari tasnya.
Dari suara belakang, salah seorang siswi turut
bicara, “Pak, sewaktu saya dalam perjalanan menuju sekolah tadi pagi-pagi saya
bertemu dengan Dirsan. Ia titip pesan bahwa dia tidak bisa masuk sekolah hari
ini karena ada salah satu keluarganya yang meningggal, Pak. Dia melayat bersama
dengan keluarganya. Dia tidak sempat membuat surat izin karena mereka buru-buru dan harus langsung berangkat
melayat.
“Tok... Tok... Tok.... Assalamu Alaikum....”
Dengan sopan, Nasir langsung masuk ke dalam kelas
dan menjelaskan kepada Pak Mahmud perihal mengapa ia terlambat pagi itu masuk
sekolah.
“Maaf, Pak. Saya... Saya... Saya terlambat, Pak.
Saya harus terlebih dahulu membatu ibu memasak dan mencuci pakaian. Ibu saya
lagi kurang enak badan.”
“Tidak apa-apa. Langsung saja bergabung dengan teman kamu.”
“Baiklah anak-anak. Bapak
rasa mungkin cukup apa yang Bapak bisa sampaikan pagi ini. Ada pun mengapa
Bapak mengumpulkan kalian dalam satu ruangan ini supaya kalian bisa
mendengarkan perkenalan pertama dari alumni pertama di sekolah kita yang
berhasil menyelesaikan sarjananya.”
Pak Mahmud pun mempersilahkan kepada Pak Fadhli
dan sekaligus meminta pamit kepadanya serta kepada murid-muridnya bahwa Pak
Mahmud harus segera berangkat ke kota pagi menjelang siang itu.
---
Pagi beranjak siang. Sebuah sekolah di sudut desa
yang gedungnya didirikan lima tahun yang lalu berkat adanya program pemerintah
PNPM Mandiri Pak Mahmud pemperjuangkan bahwa PNPM
Mandiri yang masuk di desanya harus dimanfaatkan
untuk pembangunan gedung sekolah yang mana sebelumnya siswa-siswanya belajar di
bawah kolong rumah Pak Mahmud. Pak Fadhli sendiri sampai ia tamat SLTP di
sekolah itu ia masih belajar di bawah kolong rumah Pak Mahfud.
Siang itu
nampak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jika selama ini siswa-siswa
pada saat jam pelajaran mereka belajar di dalam ruangan, kali ini berbeda. Dua
jam setelah Pak Fadhli memberi pelajaran dan motivasi hidup bagi siswa-siswanya
di dalam kelas, selanjutnya siswa-siswa diajak ke halaman sekolah duduk
melingkar di bawah naungan pepohonan yang rindang untuk melanjutkan materi yang
disampaikan Pak Fadhli. Hal ini cukup memberi semangat baru bagi para
siswa-siswanya.
Bahkan banyak juga warga yang datang melihat
proses belajar mengajar tersebut. Warga yang secara tidak sengaja lewat di
depan sekolah yang baru saja kembali dari kebun pun tidak ikut ketinggalan
untuk singgah menyaksikan aksi Pak Fadhli bersama murid-muridnya.
Kehadiran Pak Fadhli tidak hanya menjadi
penyemangat bagi siswa-siswanya itu. Meski baru sehari kembali ke kampunya
setelah beberapa tahun tidak pernah pulang ia langsung menjadi pusat perhatian
masyarakat dan sudah mulai mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya
pendidikan dan sekolah.
---
Bekasi, 2012